Senin, 17 Februari 2014



SASTRA MELAYU DALAM PRAKTEK
BUDAYA LOKAL SASAK

1.        Pendahuluan
Sastra Melayu dikenal sebagai sastra yang identik dengan keislaman, hal ini dilihat dari berbagai hal yang melekat di dalamnya mulai dari kandungan isi sampai dengan penulisannya yang menggunakan huruf Arab Melayu. Sejak jaman dahulu karya sastra baik lisan maupun tulis digunakan sebagai saluran untuk menyampaikan pengajaran dan juga hiburan. Epos-epos dari India seperti Ramayana, Mahabarata, dan Panca Tantra pada awalnya diperkenalkan di Nusantara untuk menyebarkan ajaran-ajaran moral dan tentang agama Hindu. Demikian juga pengembangan budaya Islam mengambil kesempatan yang sama untuk menyalurkan pemikiran-pemikiran Islam ke masyarakat Nusantara. Penulis-penulis Islam menyalurkan karya-karya dari sumber peradaban Islam yang diterapkan di dalamnya ide-ide keislaman. Semua karya tersebut dijadikan media dakwah.
Kesusastraan Melayu berkembang pesat setelah kedatangan agama Islam. Dimana ketika para mubaliq memperkenalkan ilmu pengetahuan Islam sekaligus memperkenalkan huruf Arab sebagai sebuah peradaban baru dalam penulisan karya sastra Melayu (huruf Arab Melayu/Jawi). Di samping penulisan kitab-kitab ilmu agama Islam, tulisan yang bercorak ilmu pengetahuan, hasil kreativitas dan imajinasi pengarang-pengarang Indonesia ini diterapkan dalam pengajaran agama Islam. Karya-karya yang dihasilkan meliputi hikayat pengaruh Islam, syair bercorak mistik dan pengajaran Islam, sejarah, hukum dan undang-undang.  Karya-karya ini ditulis dengan tujuan untuk  menyampaikan pengajaran Islam kepada pembacanya. Keeratan hubungan antara sastra dan masyarakat menjadi saluran utama dalam menyampaikan pengajaran dan juga hiburan.
Karya sastra sebagai karya yang bercorak kreatif lahir dari daya cipta dan imajinasi pengarang, sehingga karya itu akan tunduk kepada kewibawaan seorang sastrawan. Karya-karya kesusastraan Melayu yang bersumber dari peradaban Islam dilakukan oleh penulis-penulis Indonesia dengan menyadur. Para penulis mempunyai kecendrungan yang lebih kuat dalam bidang kesusastraan jika dibandingkan dengan keahlian mereka dalam bidang ilmu-ilmu Islam. Menurut penilaian Ismail Hamid (1989:3), penerapan ide-ide keislaman yang dilakukan oleh para penulis dalam karya kesusastraan Melayu asli atau saduran itu ada yang tergelincir dari intisari pengajaran Islam yang sebenarnya. Karena itu, tidak sedikit tulisan dalam karya kesusastraan Melayu pengaruh Islam itu dianggap sebagai bid’ah karena banyak didapati unsur-unsur rekaan yang digambarkan sebagai suatu pemikiran Islam yang sejati.     
Pelestarian naskah-naskah berhuruf Arab Melayu yang masih ada sekarang ini hanya sebatas sebagai bahan bacaan yang dinikmati secara bersama-sama, yang kemudian dikenal dengan bakayat, ngayat, ngaji kayat, dan nyaer. Di samping itu juga ada naskah-naskah berhuruf Sasak (Jejawan) yang disampaikan dalam tradisi pepaosan.  Pepaosan dan bakayat merupakan praktek budaya yang dilakukan masyarakat Sasak, menurut Teeuw kebudayaan yang masih dikenal dalam masyarakat Indonesia ini sebagai kebudayaan khirografik, sesuatu yang ada dalam bentuk tulis kemudian dilisankan atau diceritakan kembali (1994:39). Tradisi lisan tersebut dalam masyarakat Sasak tidak hanya sebagai media pembelajaran tentang keislaman tetapi juga sebagai pelengkap upacara adat keagamaan. Tradisi ini sejak lama juga sudah dijadikan sebagai media apresiasi masyarakat melalui lantunan dan pengajian makna teks dan tradisi ini  dilestarikan niscaya dapat mencegah teks dari kerusakan. Memang tradisi ini sepi peminat karena tidak dapat disaksikan setiap saat, hanya dipertunjukkan ketika ada upacara adat keagamaan. Tradisi ini digunakan sebagai pelengkap acara adat keagamaan (seperti, khitanan, cukuran, bretes, nyiwak, Maulid Nabi, peringatan Mi’raj Nabi) dan sekaligus sebagai media perantara dan proses kesinambungan budaya yang masih berlangsung sampai saat ini, walaupun komunitasnya terbatas.
Bakayat  sebagai salah satu praktek budaya lokal Sasak, telah turut melestarikan sastra Melayu melalui bentuk apresiasiasi tradisional yang telah dilakukan sejak perkembangan agama Islam di Lombok. Bakayat adalah tradisi sastra masyarakat Sasak di Lombok yang berupa pembacaan hikayat dengan cara menembangkan yang disertai  terjemahan dan penafsiran dalam bahasa Sasak secara bergantian oleh penembang (pemace) dan tukang cerite (bujangge). Tradisi apresiasi sastra semacam ini di kalangan etnik Sasak  memiliki sejarah yang panjang. Data yang ada menunjukkan bahwa tradisi ini  dimulai akhir abad ke-16 atau awal abad ke-17 dan masih berlanjut sampai sekarang (Jamaluddin, 2011:63-88).
Tradisi yang telah berkembang cukup lama ini dalam perjalanannya menunjukkan dinamika literasi yang bercirikan kedaerahan. Bakayat ini merupakan  sebuah tradisi yang lahir dari pertemuan beberapa tradisi yang berkembang dalam lintas perjalanan sejarah masyarakat Sasak. Penelusuran ini menjadi penting untuk dikaji dalam rangka menemukan jati diri dalam praktek budaya lokal terhadap sastra Melayu yang berkembang dalam masyarakat Sasak. Tulisan ini akan mengungkap bagaimana perjalanan sastra Melayu dan  prakteknya dalam budaya lokal Sasak.

2.     Islam dan Sastra Melayu dalam Perkembangannya
Pembicaraan tentang sastra Melayu tidak dapat dilepaskan dengan Islam (sastra Islam). Sastra Islam dikenal oleh masyarakat Sasak sejak akhir abad XVI atau awal abad XVII ketika proses Islamisasi memasuki pulau Lombok. Sastra Islam yang dikenal dalam masyarakat Sasak ada dalam dua bentuk yaitu sastra Islam Jawa dan sastra Islam Melayu. Sastra Islam Jawa yang dibawa oleh penyebar Islam dari Jawa ditulis dalam huruf Jejawan dan berbahasa Jawa Madia. Sastra dalam bentuk ini berupa puisi yang lebih awal memasuki pulau Lombok dan dipraktekkan dalam bentuk tradisi lisan  pepaosan. Tradisi ini merupakan pengaruh dari tradisi macapatan di Jawa dan mabebasan di Bali. Sedangkan sastra Islam Melayu dikenal lewat dakwah yang dilakukan para mubaliq yang berasal dari pengaruh Melayu melalui karya-karya sastra yang  disadur dari bahasa Arab dan Parsi ke dalam bahasa dan tulisan Arab Melayu (huruf Jawi) berkembang belakangan. Sastra Islam Melayu dalam masyarakat Sasak kemudian dipraktekkan dalam bentuk tradisi lisan bakayat. Mengenai keberadaannya dalam masyarakat Sasak, keduanya dapat berterima dalam praktek kehidupan masyarakat.
Dalam pemahaman para ahli tentang sastra Islam memang masih menimbulkan perdebatan, namun perbedaan tersebut tidaklah meniadakan keberadaannya. Dari beberapa pendapat seperti J.D. Pearson, Franz Rosenthal, R.O. Winstedt pada prinsipnya menyatakan bahwa sastra Islam adalah sastra yang menyangkut karya (isi) tentang dan orang Islam. Liaw Yock Fang (2011) dalam Sejarah Kesusastraan Melayu Klasik, mengungkapkan beragam permasalahan mengenai makna sastra Islam. Ada ketidakjelasan tentang makna tersebut, apakah yang mendukung nilai-nilai Islam, berdasarkan kisah-kisah dalam Al-Quran dan Al-Hadist, atau tulisan yang berdasarkan tauhid. Jika merujuk hal di atas, tidak sedikit sastra Melayu lama akan terpaksa harus ditolak karena dianggap bertentangan dengan ajaran Islam. Hal ini juga ditegaskan oleh pandangan Ismail Hamid (1989) seperti diuaraikan di awal.
Satra Islam dalam pandangan R. Roolvink sebagaimana yang dikutip Liaw  membagi menjadi 5 jenis sastra jaman Islam, yakni cerita Al-Quran, cerita Nabi Muhammad, cerita Sahabat Nabi Muhammad, cerita Pahlawan Islam, dan sastra Kitab. Cerita Al-Quran adalah cerita yang dedaktis yang bersifat memberi pelajaran. Cerita ini dikenal sebagai sastra dakwah yang agung. Cerita Al-Quran dalam bahasa Melayu terkenal dengan nama Kisah Al-anbiya. Kisah ini diterjemahkan oleh Haji Azhari Kahalid dari bahasa Arab ke dalam bahasa Melayu mempunyai jalan cerita yang sama dengan Suratul Anbiya (Cohen Stuart 122, Fang,2011:239). Cerita Nabi Muhammad dibagi dalam tiga jenis yaitu riwayat hidup Nabi Muhammad (Hikayat Nabi Hanafiah, Hikayat Nabi, Hikayat Nur Muhammad, dan Hikayat Nabi Wafat), mukjizat Nabi Muhammad (Hikayat Mikraj, Hikayat Bulan Belah, dan Hikayat Nabi Bercukur),dan ketiga cerita Maghazi, cerita peperangan yang disertai Nabi Muhammad dalam mengembangkan Islam (Hikayat Raja Khandak dan Hikayat Raja Lahad).
Cerita tentang Sahabat Nabi Muhammad terdapat segolongan daripada mereka yang amat dekat dengan Nabi Muhammad s.a.w dan dianggapkan sebagai tokoh yang terkemuka dalam Islam (Hamid, 1989:65) Cerita ini selain dalam bentuk tertulis juga dituturkan oleh tukang cerita, sehingga ketokohannya berkembang menjadi legenda dalam masyarakat Islam. Cerita yang termasuk di dalamnya adalah Hikayat Muhammad Hanafiah, Hikayat Tamin Al-dari, Hikayat Abu Syahmah, Hikayat Sama’un, dan Hikayat Raja Khandak. Cerita pahlawan Islam ini biasanya mengisahkan tokoh-tokoh sejarah yang hidup sebelum munculnya agama Islam. Tokoh Iskandar Zulkarnain dan Amir Hamzah; Saif Dzul-Yazan yang membantu raja Himyarite mengalahkan raja Abesenia dan Sultan Ibrahim yang bijaksana. Menurut Roolvink, yang digolongkan ke dalam sastra kitab adalah kajian tentang Al-Quran, tafsir, tajwid, arkan ul-Islam, usuluddin, fikih, ilmu sufi, ilmu tasawuf, tarikat, zikir, rawatib, doa, jimat, risalah wasiat, dan kitab tib (obat-obatan, jampi-menjampi). Baroroh Baried berpendapat lain tentang sastra kitab, yang dikatakan sebagai sastra tasawuf yang berkembang di Aceh pada abad ke-17 (Sulastin Sutrisno,dkk, 1985, Fang, 2011:380).
Sastra Islam mempunyai pengaruh besar terhadap perkembangan sastra di Indonesia, yakni sastra Melayu Islam dan sastra Jawa Islam. Sastra Melayu dapat dikatakan identik atau lebih dikenal sebagai sastra Melayu Islam karena didukung oleh  media bahasa Melayu dan huruf Arab Melayu (Jawi). Dalam perkembangannya terjadi integrasi yang kokoh antara tradisi sastra budaya Melayu dan Islam, Islam telah memperkaya, mendinamisir serta mengangkat derajat sastra Melayu. Simuh dalam tulisannya tentang Kesusastraan Islam Melayu dan Kejawen di Indonesia, menegaskan bahwa Islam ya Melayu, dan sebaliknya Melayu ya Islam, keduanya laksana dua permukaan dari satu mata uang (1998:19).  Kondisi ini sedikit berbeda dengan sastra Jawa Islam, dimana Islam cukup lama dipandang sebagai agama dan budaya dilingkungannya sudah lama dihaluskan oleh tradisi besar kerajaan Majapahit dan unsur Hinduisme. Simuh juga menegaskan tentang sastra Jawa Islam yang dikatakan kaya dengan sastra Islam-Kejawen lantaran para pemikir dan sastrawan didominasi para priyayi Jawa.   
Dalam masyarakat Sasak yang mayoritas Islam menyambut baik kehadiran kedua sastra Islam sebagai karya sastra dakwah yang agung. Keduanya mendapat tempat yang sama dalam kehidupan masyarakat, karena perkembangan sastra Sasak tidak terlepas dari pengaruhnya. Pendapat Van Ronkel yang menyatakan tentang naskah yang menyangkut agama Islam maka naskah Melayunya yang lebih tua, namun dalam prakteknya sastra Jawa Islam lebih awal berkembang di Lombok dibanding Melayu sehingga lebih dikenal dan mengakar di masyarakat. Namun demikian,   sastra Islam yang identik dengan Melayu yang dikenal kemudian diperlakukan sama, ini dilihat dari apresiasi masyarakat Sasak terhadap karya-karya sastra Melayu Islam juga cukup tinggi. Sastra inilah yang kemudian dipraktekkan dalam budaya lokal Sasak dikenal dengan bakayat.
Sastra Melayu yang berkembang dalam masyarakat Sasak yakni, cerita Al-Quran, cerita Nabi Muhammad, cerita Sahabat Nabi Muhammad, cerita Pahlawan Islam, dan sastra Kitab. Namun tidak semua mendapat apresiasi yang sama, dalam praktek budaya hanya sebagian terutama yang terkait dengan cerita Al-Quran (Kisah al-anbiya terutama Nabi Ibrahim dan Yusuf, Kifayatul al-muhtaj), dan cerita Nabi Muhammad (Hikayat Nur Muhammad, Bulan Belah, Nabi Bercukur). Hikayat-hikayat yang disebutkan di atas paling sering dibacakan pada hari-hari tertentu yang terkait dengan peringatan keagamaan (Maulid Nabi dan Mi’raj) dan acara adat keagamaan seperti, perkawinan, khitan, cukuran, nyiwak atau peringatan 9 hari kematiaan seseorang. Dalam perkembangan penulisan sastra Sasak tidak sedikit pengaruh Melayu masuk dan berkolaborasi, yang kemudian memunculkan karya saduran, terjemahan, dan juga hasil kreativitas para penulis lokal.    
     
3.         Sastra Melayu dalam Masyarakat Sasak
Sastra Melayu yang tidak dapat dipisahkan dengan Islam juga terjadi dalam sastra Sasak, karena hampir seluruh karya-karya sastra Sasak yang berkembang dari dahulu sampai kini berbicara tentang Islam dan masyarakatnya. Sastra Islam sebagaimana yang dikemukakan di atas membuktikan bahwa dalam perkembangannya telah memasuki ranah-ranah kehidupan budaya masyarakat Nusantara. Sastra menjadi bukti sejarah yang lebih lengkap, bisa banyak bicara tentang warna Islam yang menyebar di Indonesia (Simuh, 1998:22). Melalui karya sastra dan wujud apresiasinya kita dapat mencermati perkembangannya, apakah satra progresif yang muatan isi ajarannya cukup rasional dan ilmiah ataukah sastra ekspresif yang isi ajarannya lebih banyak berdasarkan perasaan, intuisi, dan imajinasi.
Jika dilihat dari perkembangannya, sastra Sasak banyak diwarnai oleh sastra Jawa Islam. Menurut Adrian Vickers, keislaman penduduk Sasak di Lombok banyak berhutang kepada Islam-Jawa dalam berbagai bentuk (2009:45). Salah satunya adalah dibidang sastra, dimana pengaruh Jawa dalam budaya Sasak yang menonjol pada sastra “Pesisiran” dalam berbagai versi teks. Di samping itu, adanya tradisi kuat bahwa agama  Islam dibawa ke Lombok oleh Pangeran Prapen, putra Sunan Giri pada abad ke-16 sebagaimana termuat dalam berbagai sumber. Hal ini lebih menguatkan akan pengaruh Jawa dalam berbagai tradisi yang berkembang di Lombok. Perkembangan di bidang sastra juga tidak dapat dilepaskan dengan masuknya kekuasaan Kerajaan Karangasem-Bali yang lebih dahulu mendapat pengaruh Jawa Hindu yang dipraktekkan dalam kehidupan budaya lokal, seperti pepaosan. Dimana tradisi sastra Jawa dapat tumbuh subur di kalangan masyarakat Sasak karena pihak penguasa ketika itu memberikan dukungan kuat.
Jika sastra Jawa Islam masuk bersamaan dengan berkembangnya Islam, maka sastra Melayu Islam datang ketika Lombok telah terislamkan. Kehadiran sastra Melayu Islam diyakini kedatangannya dibawa oleh para mubaliq dari semenanjung Melayu dalam rangka memantapkan keislaman penduduk Lombok. Kehadiran sastra Melayu dengan segala tradisinya,  kemudian berkembang sebagai media dakwah dan pendidikan bagi para santri di beberapa pondok pesantren. Perkembangan ini mendapat apresiasi yang positif dari masyarakat terutama di kalangan Islam Sasak waktu lima yang dianggap lebih sesuai dan mudah dipahami. Sastra Melayu yang ditulis dalam bentuk kitab bertuliskan Arab Melayu menjadi bahan bacaan dalam pembelajaran agama Islam, tradisi pembacaan dengan cara melagukan kemudian berkembang di kalangan pesantren dan kelompok-kelompok masyarakat.    
Sastra Melayu yang berkembang dalam masyarakat Sasak yakni, cerita Al-Quran, cerita Nabi Muhammad, cerita Sahabat Nabi Muhammad, cerita Pahlawan Islam, dan sastra Kitab. Namun tidak semua mendapat apresiasi yang sama, dalam praktek budaya hanya sebagian terutama yang terkait dengan cerita Al-Quran (Kisah al-anbiya terutama Nabi Ibrahim dan Yusuf, Kifayatul al-muhtaj), dan cerita Nabi Muhammad (Hikayat Nur Muhammad, Bulan Belah, Nabi Bercukur). Hikayat-hikayat yang disebutkan di atas paling sering dibacakan pada hari-hari tertentu yang terkait dengan peringatan keagamaan (Maulid Nabi dan Mi’raj) dan acara adat keagamaan seperti, perkawinan, khitan, bretes, cukuran, nyiwak atau peringatan 9 hari kematiaan seseorang. Dalam perkembangan penulisan sastra Sasak tidak sedikit pengaruh Melayu masuk dan berkolaborasi, yang kemudian memunculkan karya saduran, terjemahan, dan juga hasil kreativitas para penulis lokal.   
  
4.         Sastra dalam Praktek Budaya Lokal
Karya satra Jawa dan Melayu Islam  mendapat sambutan yang semarak di masyarakat, karena kedua hasil karya sastra tersebut cukup dikenal, sering diperbincangkan dalam konteks keagamaan. Di kalangan budayawan dan pelaku/pencinta sastra lama, sastra Sasak pengaruh Jawa lebih dihargai dibanding dengan sastra Melayu. Mengapa hal ini bisa terjadi, ada berbagai alasan untuk mengatakan kedudukan kedua sastra ini dalam prakteknya di masyarakat Sasak dibedakan, 1) media yang digunakan, Sastra Sasak dianggap lebih sakral dibanding Melayu, karena ditulis di daun lontar (takepan), hurufnya lebih kuno dan mencerminkan kedaerahan (jejawan)  dan Melayu di kertas (kitab),  huruf Arab Melayu mencerminkan lebih muda dan asing sehingga tampak kurang sakral; 2) isi cerita yang disampaikan keduanya berlatar keislaman. Dalam sastra Sasak latar cerita lebih dekat dengan budaya Nusantara dan Islam ada dalam bungkus budaya. Sastra Melayu lebih kental nuansa pengajaran keislamannya dibanding isi cerita, ini sejalan dengan pandangan Van Ronkel tentang ketuaan sastra Melayu dibanding sastra Jawa ketika menyangkut keislaman; 3) penyajian dalam bentuk pertunjukan, sastra Sasak (pepaosan)  wajib diawali dengan kelengkapan ritual seperti, penginang, andang-andang, air kembang, dan dulang penamat, sedangkan dalam bakayat tidak wajib. 4) penyampaian kedua bentuk sastra ini menggunakan lagu/tembang. Sastra Sasak (pepaosan) menggunakan jenis tembang yang relatif tetap (sinom, pangkur, ginanti, asmarandana, dandang gula, gugur mayang) sedang dalam bakayat tidak ada nama tembang dan menggunakan irama/ tembang Melayu untuk semua kitab/hikayat yang dibaca. Namun dalam perkembangannya setiap pemace mempunyai kreasi sendiri dalam melagukan setiap penggalan dalam teks.    
Praktek budaya lokal Sasak dalam sastra Melayu dapat dicermati salah satunya dalam pembacaan kitab Qisassul Anbiya tentang Nabi Yusuf yang dipertunjukkan oleh sebuah kelompok bakayat dari Dasan Lendang, Bayan, Kabupaten Lombok Utara.
Bismillahirrahmanirrahim, alkazzam menyatakan kisah nabi Allah Yusuf bertemu; (Bahasa Melayu/ BM)
Bismillahirrahmanirrahim dengan nama Allah yang bersifat pengasih dan penyayang  bagi hambanya. Araq sopoq cerite siq te ceritaang beraran Nabi Allah Yusuf kekasih  Allah SWT; (Bahasa Sasak/ BS)
Bismillahirrahmanirrahim dengan menyebut nama Allah yang maha pengasih dan penyayang bagi hambanya. Dikisahkan sebauh cerita yang bernama Nabi Allah Yusuf kekasih SWT (Bahasa Indonesia / BI)
Dengan segala saudaranya kata yang empunya cerita; (BM)
Siq keteceritayang kanak bajang ni inges solah bedait kance semeton ne wah ne te  siq jual siq...ape arane...saudaranya; (BS)
Dikisahkan bahwasanya ada seorang anak muda yang dikarunia wajah tampan melebihi segalanya, konon pada kisah ini Yusuf bertemu dengan saudaranya setelah sekian lama terpisahkan semenjak usia anak-anak ketika saudaranya menjualnya (BI)
Jika dicermati dari bentuk penyajiannya, dimana dalam setiap penggalan yang ditembangkan diterjemahkan ke dalam bahasa Sasak dan disertai dengan penjelasan atau penafsiran dari tukang cerite (bujangge) terhadap teks. Penonton/pendengar tidak saja menikmati alunan tembang dari pemace (pembaca) tetapi juga mencermati kata-kata yang digunakan bujangge dalam menggambarkan serta menafsirkan setiap penggalan yang disampaikan. Penonton/pendengar dapat menyetujui atau menolak setiap penjelasan dan penafsiran bujangge, namun dalam tradisi ini tidak ada komunikasi dua arah hanya satu arah. Tembang yang digunakan pemace awalnya menggunakan irama tembang dari pembacaan hikayat di daerah Semenanjung Melayu, namun dalam perkembangannya banyak dipengaruhi oleh tembang Sasak sehingga pemenggalan teks hikayat didasarkan selera pemace. Mengenai istilah pemace dan tukang cerite (bujangge) serta penyarup yang digunakan dalam pepaosan juga digunakan dalam bakayat di samping itu peran dan tugasnya juga sama. Dalam satu kelompok pembaca hikayat (bakayat) terdiri dari minimal tiga orang, satu orang bertindak sebagai pemace, satu  orang sebagai bujangge, dan penyarup dapat dilakukan oleh beberapa orang termasuk pemace dan bujangge karena sifatnya hanya menembangkan suku kata akhir secara beramai-ramai dari penggalan kalimat yang dibaca.  
Dalam tradisi ini terkandung kearifan lokal selain sebagai penanda identitas komunitas, tetapi juga akan mengubah pola pikir dan hubungan timbal-balik individu dan kelompok dengan meletakkan di atas common ground / kebudayaan yang dimiliki (Abdullah, Edt.,dkk., 2008:10). Kehadiran bakayat sebagai hasil praktek budaya lokal yang mampu memelihara dan mengelola menjadi kreativitas baru yang bermanfaat bagi masyarakat. merupakan bentuk apresiasi yang tinggi terhadap sastra Melayu. Penghargaan masyarakat terhadap sastra Melayu sejalan dengan kandungan isi yang penuh dengan nuansa keislaman sehingga bukan sekedar menjadikan sastra sebagai hiburan tetapi lebih sebagai bacaan dalam memahami Islam.   Dan ketika sastra Melayu Islam dipraktekkan dalam kehidupan tradisi masyarakat Sasak, semakin memantapkan kedudukannya dalam berbagai fungsi-fungsi sosial, dan adat keagamaan.
Dalam fungsi sosial bakayat dijadikan sebagai media komunikasi untuk menyampaikan berbagai informasi yang dianggap berguna dan menambah wawasan penonton/pendengar. Bujangge ketika menerjemahkan dan menjelaskan teks yang dibaca diselingi dengan pesan-pesan tentang kehidupan dalam bermasyarakat menurut tuntunan Islam dan aturan-aturan pemerintahan yang berlaku. Dalam praktek adat keagamaan pada beberapa komunitas masyarakat Sasak masih memfungsikan bakayat sebagai pelengkap ritual seperti, khitanan, ngurisang (cukur), nyiwak, bretes, perkawinan,  Maulid Nabi, Mi’raj. Dimana bakayat dilaksanakan pada malam hari sebelum acara pokok, hikayat yang dibaca disesuaikan dengan acara seperti cukur, khitan (hikayat Nabi Bercukur atau Nabi Yusuf), perkawinan (Nabi Yusuf), Nyiwak (Qisbul Gaibiyah, Kurtubi, Da’kok,Jawahir), Maulid Nabi (Hikayat Nabi Muhammad, Mukjijat Nabi), bretes (Hikayat Bunga Rus), dan Mi’raj (Kifayatul al-Muhtaz,  Jafar Sadiq).  
Tradisi ini merupakan bentuk pelestarian dan apresiasi sastra Melayu Islam, mungkin di daerah lain hanya sebagai bahan bacaan yang dinikmati oleh per orangan atau secara bersama sebagai hiburan dan pembelajaran tentang keislaman. Di samping itu, sastra Melayu dalam beberapa komunitas etnis  Sasak mempunyai nilai religius dan kesakralan sehingga beberapa bacaan hikayat dijadikan sebagai pelengkap upacara ritual adat keagamaan. Perkembangan Islam modern juga telah banyak meniadakan berbgai tradisi yang pernah ada, sehingga tradisi tersebut dianggap bid’ah, kurafat, dan mengandung takhayul. Sepanjang tradisi ini difungsikan maka sepanjang itu pula sastra Melayu akan bertahan dalam kehidupan kesastraan masyarakat Sasak. Jika fungsi ini tidak ada lagi niscaya sastra Melayu hanya tinggal sebagai kenangan dalam perjalanan sastra Melayu di tanah Sasak. 

5.        Penutup
Tradisi lisan bakayat adalah salah satu praktek budaya lokal Sasak yang menggunakan sastra Melayu Islam sebagai bacaan. Sastra Melayu masuk ketika  Lombok sudah diislamkan oleh Pangeran Prapen, dan sekaligus dengan tradisi sastra Jawa Islamnya. Kehadiran sastra Melayu Islam yang dibawa oleh para mubaliq bertujuan untuk memantapkan keislaman penduduk Lombok, sambil membawa tradisi Melayu yang dijadikan sebagai media dakwah. Tradisi sastra Melayu kemudian dipraktekkan dalam budaya lokal Sasak yang dikenal dengan bakayat. Bakayat di samping sebagai media apresiasi juga digunakan berbagai fungsi  kehidupan, seperti pelengkap acara adat keagamaan. Tradisi ini dapat dijadikan sebagai salah satu bentuk pelestarian sastra Melayu Islam yang dilakukan oleh masyarakat Sasak. Upaya pelestarian terhadap tradisi ini perlu dilakukan oleh semua pihak dengan berbagai upaya yang strategis sesuai kapasitas yang kita miliki.