SASTRA MELAYU
DALAM PRAKTEK
BUDAYA LOKAL
SASAK
1.
Pendahuluan
Sastra Melayu dikenal
sebagai sastra yang identik dengan keislaman, hal ini dilihat dari berbagai hal
yang melekat di dalamnya mulai dari kandungan isi sampai dengan penulisannya
yang menggunakan huruf Arab Melayu. Sejak jaman dahulu karya sastra baik lisan
maupun tulis digunakan sebagai saluran untuk menyampaikan pengajaran dan juga
hiburan. Epos-epos dari India seperti Ramayana, Mahabarata, dan Panca Tantra
pada awalnya diperkenalkan di Nusantara untuk menyebarkan ajaran-ajaran moral
dan tentang agama Hindu. Demikian juga pengembangan budaya Islam mengambil
kesempatan yang sama untuk menyalurkan pemikiran-pemikiran Islam ke masyarakat
Nusantara. Penulis-penulis Islam menyalurkan karya-karya dari sumber peradaban
Islam yang diterapkan di dalamnya ide-ide keislaman. Semua karya tersebut
dijadikan media dakwah.
Kesusastraan Melayu berkembang
pesat setelah kedatangan agama Islam. Dimana ketika para mubaliq memperkenalkan
ilmu pengetahuan Islam sekaligus memperkenalkan huruf Arab sebagai sebuah
peradaban baru dalam penulisan karya sastra Melayu (huruf Arab Melayu/Jawi). Di
samping penulisan kitab-kitab ilmu agama Islam, tulisan yang bercorak ilmu
pengetahuan, hasil kreativitas dan imajinasi pengarang-pengarang Indonesia ini
diterapkan dalam pengajaran agama Islam. Karya-karya yang dihasilkan meliputi
hikayat pengaruh Islam, syair bercorak mistik dan pengajaran Islam, sejarah,
hukum dan undang-undang. Karya-karya ini
ditulis dengan tujuan untuk menyampaikan
pengajaran Islam kepada pembacanya. Keeratan hubungan antara sastra dan
masyarakat menjadi saluran utama dalam menyampaikan pengajaran dan juga hiburan.
Karya sastra sebagai karya
yang bercorak kreatif lahir dari daya cipta dan imajinasi pengarang, sehingga
karya itu akan tunduk kepada kewibawaan seorang sastrawan. Karya-karya
kesusastraan Melayu yang bersumber dari peradaban Islam dilakukan oleh
penulis-penulis Indonesia dengan menyadur. Para penulis mempunyai kecendrungan
yang lebih kuat dalam bidang kesusastraan jika dibandingkan dengan keahlian mereka
dalam bidang ilmu-ilmu Islam. Menurut penilaian Ismail Hamid (1989:3),
penerapan ide-ide keislaman yang dilakukan oleh para penulis dalam karya
kesusastraan Melayu asli atau saduran itu ada yang tergelincir dari intisari
pengajaran Islam yang sebenarnya. Karena itu, tidak sedikit tulisan dalam karya
kesusastraan Melayu pengaruh Islam itu dianggap sebagai bid’ah karena banyak didapati unsur-unsur rekaan yang digambarkan
sebagai suatu pemikiran Islam yang sejati.
Pelestarian naskah-naskah berhuruf
Arab Melayu yang masih ada sekarang ini hanya sebatas sebagai bahan bacaan yang
dinikmati secara bersama-sama, yang kemudian dikenal dengan bakayat, ngayat, ngaji kayat, dan nyaer.
Di samping itu juga ada naskah-naskah berhuruf Sasak (Jejawan) yang disampaikan dalam tradisi pepaosan. Pepaosan dan bakayat merupakan praktek budaya yang dilakukan masyarakat Sasak,
menurut Teeuw kebudayaan yang masih dikenal dalam masyarakat Indonesia ini
sebagai kebudayaan khirografik,
sesuatu yang ada dalam bentuk tulis kemudian dilisankan atau diceritakan
kembali (1994:39). Tradisi lisan tersebut dalam masyarakat Sasak tidak hanya sebagai
media pembelajaran tentang keislaman tetapi juga sebagai pelengkap upacara adat
keagamaan. Tradisi ini sejak lama juga sudah dijadikan sebagai media apresiasi
masyarakat melalui lantunan dan pengajian makna teks dan tradisi ini dilestarikan niscaya dapat mencegah teks dari
kerusakan. Memang tradisi ini sepi peminat karena tidak dapat disaksikan setiap
saat, hanya dipertunjukkan ketika ada upacara adat keagamaan. Tradisi ini
digunakan sebagai pelengkap acara adat keagamaan (seperti, khitanan, cukuran, bretes, nyiwak, Maulid Nabi, peringatan
Mi’raj Nabi) dan sekaligus sebagai media perantara dan proses kesinambungan
budaya yang masih berlangsung sampai saat ini, walaupun komunitasnya terbatas.
Bakayat sebagai salah satu praktek budaya lokal Sasak,
telah turut melestarikan sastra Melayu melalui bentuk apresiasiasi tradisional
yang telah dilakukan sejak perkembangan agama Islam di Lombok. Bakayat adalah
tradisi sastra masyarakat Sasak di Lombok yang berupa pembacaan hikayat dengan
cara menembangkan yang disertai
terjemahan dan penafsiran dalam bahasa Sasak secara bergantian oleh
penembang (pemace) dan tukang cerite
(bujangge). Tradisi apresiasi sastra
semacam ini di kalangan etnik Sasak
memiliki sejarah yang panjang. Data yang ada menunjukkan bahwa tradisi
ini dimulai akhir abad ke-16 atau awal abad ke-17
dan masih berlanjut sampai sekarang (Jamaluddin, 2011:63-88).
Tradisi yang telah
berkembang cukup lama ini dalam perjalanannya menunjukkan dinamika literasi
yang bercirikan kedaerahan. Bakayat ini
merupakan sebuah tradisi yang lahir dari
pertemuan beberapa tradisi yang berkembang dalam lintas perjalanan sejarah
masyarakat Sasak. Penelusuran ini menjadi penting untuk dikaji dalam rangka
menemukan jati diri dalam praktek budaya lokal terhadap sastra Melayu yang
berkembang dalam masyarakat Sasak. Tulisan ini akan mengungkap bagaimana perjalanan
sastra Melayu dan prakteknya dalam
budaya lokal Sasak.
2.
Islam dan Sastra Melayu dalam Perkembangannya
Pembicaraan tentang sastra
Melayu tidak dapat dilepaskan dengan Islam (sastra Islam). Sastra Islam dikenal
oleh masyarakat Sasak sejak akhir abad XVI atau awal abad XVII ketika proses
Islamisasi memasuki pulau Lombok. Sastra Islam yang dikenal dalam masyarakat
Sasak ada dalam dua bentuk yaitu sastra Islam Jawa dan sastra Islam Melayu.
Sastra Islam Jawa yang dibawa oleh penyebar Islam dari Jawa ditulis dalam huruf
Jejawan dan berbahasa Jawa Madia.
Sastra dalam bentuk ini berupa puisi yang lebih awal memasuki pulau Lombok dan
dipraktekkan dalam bentuk tradisi lisan pepaosan. Tradisi ini merupakan pengaruh
dari tradisi macapatan di Jawa dan mabebasan di Bali. Sedangkan sastra
Islam Melayu dikenal lewat dakwah yang dilakukan para mubaliq yang berasal dari
pengaruh Melayu melalui karya-karya sastra yang
disadur dari bahasa Arab dan Parsi ke dalam bahasa dan tulisan Arab Melayu
(huruf Jawi) berkembang belakangan. Sastra Islam Melayu dalam masyarakat Sasak
kemudian dipraktekkan dalam bentuk tradisi lisan bakayat. Mengenai keberadaannya dalam masyarakat Sasak, keduanya
dapat berterima dalam praktek kehidupan masyarakat.
Dalam pemahaman para ahli
tentang sastra Islam memang masih menimbulkan perdebatan, namun perbedaan
tersebut tidaklah meniadakan keberadaannya. Dari beberapa pendapat seperti J.D.
Pearson, Franz Rosenthal, R.O. Winstedt pada prinsipnya menyatakan bahwa sastra
Islam adalah sastra yang menyangkut karya (isi) tentang dan orang Islam. Liaw
Yock Fang (2011) dalam Sejarah Kesusastraan Melayu Klasik, mengungkapkan
beragam permasalahan mengenai makna sastra Islam. Ada ketidakjelasan tentang
makna tersebut, apakah yang mendukung nilai-nilai Islam, berdasarkan
kisah-kisah dalam Al-Quran dan Al-Hadist, atau tulisan yang berdasarkan tauhid.
Jika merujuk hal di atas, tidak sedikit sastra Melayu lama akan terpaksa harus
ditolak karena dianggap bertentangan dengan ajaran Islam. Hal ini juga
ditegaskan oleh pandangan Ismail Hamid (1989) seperti diuaraikan di awal.
Satra Islam dalam pandangan
R. Roolvink sebagaimana yang dikutip Liaw membagi menjadi 5 jenis sastra jaman Islam,
yakni cerita Al-Quran, cerita Nabi Muhammad, cerita Sahabat Nabi Muhammad,
cerita Pahlawan Islam, dan sastra Kitab. Cerita Al-Quran adalah cerita yang
dedaktis yang bersifat memberi pelajaran. Cerita ini dikenal sebagai sastra
dakwah yang agung. Cerita Al-Quran dalam bahasa Melayu terkenal dengan nama
Kisah Al-anbiya. Kisah ini diterjemahkan oleh Haji Azhari Kahalid dari bahasa
Arab ke dalam bahasa Melayu mempunyai jalan cerita yang sama dengan Suratul Anbiya (Cohen Stuart 122,
Fang,2011:239). Cerita Nabi Muhammad dibagi dalam tiga jenis yaitu riwayat
hidup Nabi Muhammad (Hikayat Nabi
Hanafiah, Hikayat Nabi, Hikayat Nur Muhammad, dan Hikayat Nabi Wafat), mukjizat Nabi Muhammad (Hikayat Mikraj, Hikayat Bulan Belah, dan Hikayat Nabi Bercukur),dan ketiga cerita Maghazi, cerita peperangan yang disertai Nabi Muhammad dalam
mengembangkan Islam (Hikayat Raja Khandak
dan Hikayat Raja Lahad).
Cerita tentang Sahabat Nabi
Muhammad terdapat segolongan daripada mereka yang amat dekat dengan Nabi
Muhammad s.a.w dan dianggapkan sebagai tokoh yang terkemuka dalam Islam (Hamid,
1989:65) Cerita ini selain dalam bentuk tertulis juga dituturkan oleh tukang
cerita, sehingga ketokohannya berkembang menjadi legenda dalam masyarakat
Islam. Cerita yang termasuk di dalamnya adalah Hikayat Muhammad Hanafiah, Hikayat Tamin Al-dari, Hikayat Abu Syahmah,
Hikayat Sama’un, dan Hikayat Raja
Khandak. Cerita pahlawan Islam ini biasanya mengisahkan tokoh-tokoh sejarah
yang hidup sebelum munculnya agama Islam. Tokoh Iskandar Zulkarnain dan Amir
Hamzah; Saif Dzul-Yazan yang membantu raja Himyarite mengalahkan raja Abesenia
dan Sultan Ibrahim yang bijaksana. Menurut Roolvink, yang digolongkan ke dalam
sastra kitab adalah kajian tentang Al-Quran, tafsir, tajwid, arkan ul-Islam,
usuluddin, fikih, ilmu sufi, ilmu tasawuf, tarikat, zikir, rawatib, doa, jimat,
risalah wasiat, dan kitab tib (obat-obatan, jampi-menjampi). Baroroh Baried
berpendapat lain tentang sastra kitab, yang dikatakan sebagai sastra tasawuf
yang berkembang di Aceh pada abad ke-17 (Sulastin Sutrisno,dkk, 1985, Fang,
2011:380).
Sastra Islam mempunyai
pengaruh besar terhadap perkembangan sastra di Indonesia, yakni sastra Melayu
Islam dan sastra Jawa Islam. Sastra Melayu dapat dikatakan identik atau lebih
dikenal sebagai sastra Melayu Islam karena didukung oleh media bahasa Melayu dan huruf Arab Melayu
(Jawi). Dalam perkembangannya terjadi integrasi yang kokoh antara tradisi
sastra budaya Melayu dan Islam, Islam telah memperkaya, mendinamisir serta
mengangkat derajat sastra Melayu. Simuh dalam tulisannya tentang Kesusastraan
Islam Melayu dan Kejawen di Indonesia, menegaskan bahwa Islam ya Melayu, dan
sebaliknya Melayu ya Islam, keduanya laksana dua permukaan dari satu mata uang
(1998:19). Kondisi ini sedikit berbeda
dengan sastra Jawa Islam, dimana Islam cukup lama dipandang sebagai agama dan
budaya dilingkungannya sudah lama dihaluskan oleh tradisi besar kerajaan
Majapahit dan unsur Hinduisme. Simuh juga menegaskan tentang sastra Jawa Islam
yang dikatakan kaya dengan sastra Islam-Kejawen lantaran para pemikir dan
sastrawan didominasi para priyayi Jawa.
Dalam masyarakat Sasak yang
mayoritas Islam menyambut baik kehadiran kedua sastra Islam sebagai karya
sastra dakwah yang agung. Keduanya mendapat tempat yang sama dalam kehidupan
masyarakat, karena perkembangan sastra Sasak tidak terlepas dari pengaruhnya.
Pendapat Van Ronkel yang menyatakan tentang naskah yang menyangkut agama Islam
maka naskah Melayunya yang lebih tua, namun dalam prakteknya sastra Jawa Islam
lebih awal berkembang di Lombok dibanding Melayu sehingga lebih dikenal dan
mengakar di masyarakat. Namun demikian,
sastra Islam yang identik dengan Melayu yang dikenal kemudian
diperlakukan sama, ini dilihat dari apresiasi masyarakat Sasak terhadap
karya-karya sastra Melayu Islam juga cukup tinggi. Sastra inilah yang kemudian dipraktekkan
dalam budaya lokal Sasak dikenal dengan bakayat.
Sastra Melayu yang
berkembang dalam masyarakat Sasak yakni, cerita Al-Quran, cerita Nabi Muhammad,
cerita Sahabat Nabi Muhammad, cerita Pahlawan Islam, dan sastra Kitab. Namun
tidak semua mendapat apresiasi yang sama, dalam praktek budaya hanya sebagian
terutama yang terkait dengan cerita Al-Quran (Kisah al-anbiya terutama Nabi Ibrahim dan Yusuf, Kifayatul al-muhtaj), dan cerita Nabi
Muhammad (Hikayat Nur Muhammad, Bulan Belah, Nabi Bercukur). Hikayat-hikayat
yang disebutkan di atas paling sering dibacakan pada hari-hari tertentu yang
terkait dengan peringatan keagamaan (Maulid Nabi dan Mi’raj) dan acara adat
keagamaan seperti, perkawinan, khitan, cukuran, nyiwak atau peringatan 9 hari
kematiaan seseorang. Dalam perkembangan penulisan sastra Sasak tidak sedikit
pengaruh Melayu masuk dan berkolaborasi, yang kemudian memunculkan karya
saduran, terjemahan, dan juga hasil kreativitas para penulis lokal.
3.
Sastra
Melayu dalam Masyarakat Sasak
Sastra Melayu yang tidak
dapat dipisahkan dengan Islam juga terjadi dalam sastra Sasak, karena hampir
seluruh karya-karya sastra Sasak yang berkembang dari dahulu sampai kini berbicara
tentang Islam dan masyarakatnya. Sastra Islam sebagaimana yang dikemukakan di
atas membuktikan bahwa dalam perkembangannya telah memasuki ranah-ranah
kehidupan budaya masyarakat Nusantara. Sastra menjadi bukti sejarah yang lebih
lengkap, bisa banyak bicara tentang warna Islam yang menyebar di Indonesia
(Simuh, 1998:22). Melalui karya sastra dan wujud apresiasinya kita dapat
mencermati perkembangannya, apakah satra progresif yang muatan isi ajarannya
cukup rasional dan ilmiah ataukah sastra ekspresif yang isi ajarannya lebih
banyak berdasarkan perasaan, intuisi, dan imajinasi.
Jika dilihat dari
perkembangannya, sastra Sasak banyak diwarnai oleh sastra Jawa Islam. Menurut
Adrian Vickers, keislaman penduduk Sasak di Lombok banyak berhutang kepada
Islam-Jawa dalam berbagai bentuk (2009:45). Salah satunya adalah dibidang sastra,
dimana pengaruh Jawa dalam budaya Sasak yang menonjol pada sastra “Pesisiran”
dalam berbagai versi teks. Di samping itu, adanya tradisi kuat bahwa agama Islam dibawa ke Lombok oleh Pangeran Prapen,
putra Sunan Giri pada abad ke-16 sebagaimana termuat dalam berbagai sumber. Hal
ini lebih menguatkan akan pengaruh Jawa dalam berbagai tradisi yang berkembang
di Lombok. Perkembangan di bidang sastra juga tidak dapat dilepaskan dengan masuknya
kekuasaan Kerajaan Karangasem-Bali yang lebih dahulu mendapat pengaruh Jawa
Hindu yang dipraktekkan dalam kehidupan budaya lokal, seperti pepaosan. Dimana tradisi sastra Jawa
dapat tumbuh subur di kalangan masyarakat Sasak karena pihak penguasa ketika
itu memberikan dukungan kuat.
Jika sastra Jawa Islam masuk
bersamaan dengan berkembangnya Islam, maka sastra Melayu Islam datang ketika
Lombok telah terislamkan. Kehadiran sastra Melayu Islam diyakini kedatangannya
dibawa oleh para mubaliq dari semenanjung Melayu dalam rangka memantapkan
keislaman penduduk Lombok. Kehadiran sastra Melayu dengan segala tradisinya, kemudian berkembang sebagai media dakwah dan
pendidikan bagi para santri di beberapa pondok pesantren. Perkembangan ini
mendapat apresiasi yang positif dari masyarakat terutama di kalangan Islam
Sasak waktu lima yang dianggap lebih
sesuai dan mudah dipahami. Sastra Melayu yang ditulis dalam bentuk kitab
bertuliskan Arab Melayu menjadi bahan bacaan dalam pembelajaran agama Islam,
tradisi pembacaan dengan cara melagukan kemudian berkembang di kalangan
pesantren dan kelompok-kelompok masyarakat.
Sastra Melayu yang
berkembang dalam masyarakat Sasak yakni, cerita Al-Quran, cerita Nabi Muhammad,
cerita Sahabat Nabi Muhammad, cerita Pahlawan Islam, dan sastra Kitab. Namun
tidak semua mendapat apresiasi yang sama, dalam praktek budaya hanya sebagian
terutama yang terkait dengan cerita Al-Quran (Kisah al-anbiya terutama Nabi Ibrahim dan Yusuf, Kifayatul al-muhtaj), dan cerita Nabi
Muhammad (Hikayat Nur Muhammad, Bulan Belah, Nabi Bercukur). Hikayat-hikayat
yang disebutkan di atas paling sering dibacakan pada hari-hari tertentu yang
terkait dengan peringatan keagamaan (Maulid Nabi dan Mi’raj) dan acara adat
keagamaan seperti, perkawinan, khitan, bretes,
cukuran, nyiwak atau peringatan 9
hari kematiaan seseorang. Dalam perkembangan penulisan sastra Sasak tidak
sedikit pengaruh Melayu masuk dan berkolaborasi, yang kemudian memunculkan
karya saduran, terjemahan, dan juga hasil kreativitas para penulis lokal.
4.
Sastra
dalam Praktek Budaya Lokal
Karya satra Jawa dan Melayu Islam
mendapat sambutan yang semarak di masyarakat,
karena kedua hasil karya sastra tersebut cukup dikenal, sering diperbincangkan dalam
konteks keagamaan. Di kalangan budayawan dan pelaku/pencinta sastra lama,
sastra Sasak pengaruh Jawa lebih dihargai dibanding dengan sastra Melayu. Mengapa
hal ini bisa terjadi, ada berbagai alasan untuk mengatakan kedudukan kedua
sastra ini dalam prakteknya di masyarakat Sasak dibedakan, 1) media yang
digunakan, Sastra Sasak dianggap lebih sakral dibanding Melayu, karena ditulis
di daun lontar (takepan), hurufnya
lebih kuno dan mencerminkan kedaerahan (jejawan)
dan Melayu di kertas (kitab), huruf Arab Melayu mencerminkan lebih muda dan
asing sehingga tampak kurang sakral; 2) isi cerita yang disampaikan keduanya
berlatar keislaman. Dalam sastra Sasak latar cerita lebih dekat dengan budaya
Nusantara dan Islam ada dalam bungkus budaya. Sastra Melayu lebih kental nuansa
pengajaran keislamannya dibanding isi cerita, ini sejalan dengan pandangan Van
Ronkel tentang ketuaan sastra Melayu dibanding sastra Jawa ketika menyangkut
keislaman; 3) penyajian dalam bentuk pertunjukan, sastra Sasak (pepaosan) wajib diawali dengan kelengkapan ritual seperti,
penginang, andang-andang, air
kembang, dan dulang penamat, sedangkan
dalam bakayat tidak wajib. 4)
penyampaian kedua bentuk sastra ini menggunakan lagu/tembang. Sastra Sasak (pepaosan) menggunakan jenis tembang yang
relatif tetap (sinom, pangkur, ginanti,
asmarandana, dandang gula, gugur mayang) sedang dalam bakayat tidak ada nama tembang dan menggunakan irama/ tembang
Melayu untuk semua kitab/hikayat yang dibaca. Namun dalam perkembangannya
setiap pemace mempunyai kreasi
sendiri dalam melagukan setiap penggalan dalam teks.
Praktek budaya lokal Sasak
dalam sastra Melayu dapat dicermati salah satunya dalam pembacaan kitab Qisassul Anbiya tentang Nabi Yusuf yang
dipertunjukkan oleh sebuah kelompok bakayat
dari Dasan Lendang, Bayan, Kabupaten Lombok Utara.
Bismillahirrahmanirrahim,
alkazzam menyatakan kisah nabi Allah Yusuf bertemu; (Bahasa Melayu/ BM)
Bismillahirrahmanirrahim dengan nama
Allah yang bersifat pengasih dan penyayang
bagi hambanya. Araq sopoq cerite siq te ceritaang beraran Nabi Allah
Yusuf kekasih Allah SWT; (Bahasa Sasak/ BS)
Bismillahirrahmanirrahim dengan
menyebut nama Allah yang maha pengasih dan penyayang bagi hambanya. Dikisahkan sebauh cerita
yang bernama Nabi Allah Yusuf kekasih SWT (Bahasa Indonesia / BI)
Dengan
segala saudaranya kata yang empunya cerita; (BM)
Siq keteceritayang kanak
bajang ni inges solah bedait kance semeton ne wah ne te siq jual siq...ape arane...saudaranya; (BS)
Dikisahkan bahwasanya ada seorang anak muda yang dikarunia wajah tampan melebihi segalanya,
konon pada kisah ini Yusuf
bertemu dengan saudaranya setelah sekian lama terpisahkan semenjak usia
anak-anak ketika saudaranya menjualnya (BI)
Jika
dicermati dari bentuk penyajiannya, dimana dalam setiap penggalan yang
ditembangkan diterjemahkan ke dalam bahasa Sasak dan disertai dengan penjelasan
atau penafsiran dari tukang cerite (bujangge) terhadap teks. Penonton/pendengar
tidak saja menikmati alunan tembang dari pemace
(pembaca) tetapi juga mencermati kata-kata yang digunakan bujangge dalam menggambarkan serta
menafsirkan setiap penggalan yang disampaikan. Penonton/pendengar dapat
menyetujui atau menolak setiap penjelasan dan penafsiran bujangge, namun dalam tradisi ini tidak ada komunikasi dua arah
hanya satu arah. Tembang yang
digunakan pemace awalnya menggunakan irama
tembang dari pembacaan hikayat di daerah Semenanjung Melayu, namun dalam
perkembangannya banyak dipengaruhi oleh tembang Sasak sehingga pemenggalan teks
hikayat didasarkan selera pemace. Mengenai
istilah pemace dan tukang cerite (bujangge) serta penyarup yang
digunakan dalam pepaosan juga
digunakan dalam bakayat di samping
itu peran dan tugasnya juga sama. Dalam satu kelompok pembaca hikayat (bakayat) terdiri dari minimal tiga
orang, satu orang bertindak sebagai pemace,
satu orang sebagai bujangge, dan penyarup dapat dilakukan oleh beberapa orang termasuk pemace dan bujangge karena sifatnya hanya menembangkan suku kata akhir secara beramai-ramai
dari penggalan kalimat yang dibaca.
Dalam tradisi ini terkandung
kearifan lokal selain sebagai penanda identitas komunitas, tetapi juga akan
mengubah pola pikir dan hubungan timbal-balik individu dan kelompok dengan
meletakkan di atas common ground / kebudayaan
yang dimiliki (Abdullah, Edt.,dkk., 2008:10). Kehadiran bakayat sebagai hasil praktek budaya lokal yang mampu memelihara
dan mengelola menjadi kreativitas baru yang bermanfaat bagi masyarakat. merupakan
bentuk apresiasi yang tinggi terhadap sastra Melayu. Penghargaan masyarakat
terhadap sastra Melayu sejalan dengan kandungan isi yang penuh dengan nuansa
keislaman sehingga bukan sekedar menjadikan sastra sebagai hiburan tetapi lebih
sebagai bacaan dalam memahami Islam. Dan
ketika sastra Melayu Islam dipraktekkan dalam kehidupan tradisi masyarakat Sasak,
semakin memantapkan kedudukannya dalam berbagai fungsi-fungsi sosial, dan adat
keagamaan.
Dalam fungsi sosial bakayat dijadikan sebagai media
komunikasi untuk menyampaikan berbagai informasi yang dianggap berguna dan
menambah wawasan penonton/pendengar. Bujangge
ketika menerjemahkan dan menjelaskan teks yang dibaca diselingi dengan
pesan-pesan tentang kehidupan dalam bermasyarakat menurut tuntunan Islam dan
aturan-aturan pemerintahan yang berlaku. Dalam praktek adat keagamaan pada
beberapa komunitas masyarakat Sasak masih memfungsikan bakayat sebagai pelengkap ritual seperti, khitanan, ngurisang
(cukur), nyiwak, bretes, perkawinan, Maulid
Nabi, Mi’raj. Dimana bakayat dilaksanakan
pada malam hari sebelum acara pokok, hikayat yang dibaca disesuaikan dengan
acara seperti cukur, khitan (hikayat Nabi Bercukur atau Nabi Yusuf), perkawinan
(Nabi Yusuf), Nyiwak (Qisbul Gaibiyah,
Kurtubi, Da’kok,Jawahir), Maulid Nabi (Hikayat Nabi Muhammad, Mukjijat
Nabi), bretes (Hikayat Bunga Rus), dan
Mi’raj (Kifayatul al-Muhtaz, Jafar
Sadiq).
Tradisi ini merupakan bentuk
pelestarian dan apresiasi sastra Melayu Islam, mungkin di daerah lain hanya
sebagai bahan bacaan yang dinikmati oleh per orangan atau secara bersama
sebagai hiburan dan pembelajaran tentang keislaman. Di samping itu, sastra
Melayu dalam beberapa komunitas etnis
Sasak mempunyai nilai religius dan kesakralan sehingga beberapa bacaan
hikayat dijadikan sebagai pelengkap upacara ritual adat keagamaan. Perkembangan
Islam modern juga telah banyak meniadakan berbgai tradisi yang pernah ada,
sehingga tradisi tersebut dianggap bid’ah,
kurafat, dan mengandung takhayul. Sepanjang
tradisi ini difungsikan maka sepanjang itu pula sastra Melayu akan bertahan
dalam kehidupan kesastraan masyarakat Sasak. Jika fungsi ini tidak ada lagi
niscaya sastra Melayu hanya tinggal sebagai kenangan dalam perjalanan sastra
Melayu di tanah Sasak.
5.
Penutup
Tradisi lisan bakayat adalah salah satu praktek budaya
lokal Sasak yang menggunakan sastra Melayu Islam sebagai bacaan. Sastra Melayu
masuk ketika Lombok sudah diislamkan
oleh Pangeran Prapen, dan sekaligus dengan tradisi sastra Jawa Islamnya.
Kehadiran sastra Melayu Islam yang dibawa oleh para mubaliq bertujuan untuk
memantapkan keislaman penduduk Lombok, sambil membawa tradisi Melayu yang
dijadikan sebagai media dakwah. Tradisi sastra Melayu kemudian dipraktekkan
dalam budaya lokal Sasak yang dikenal dengan bakayat. Bakayat di samping sebagai media apresiasi juga digunakan berbagai
fungsi kehidupan, seperti pelengkap
acara adat keagamaan. Tradisi ini dapat dijadikan sebagai salah satu bentuk
pelestarian sastra Melayu Islam yang dilakukan oleh masyarakat Sasak. Upaya
pelestarian terhadap tradisi ini perlu dilakukan oleh semua pihak dengan
berbagai upaya yang strategis sesuai kapasitas yang kita miliki.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar