Senin, 17 Februari 2014



SASTRA MELAYU DALAM PRAKTEK
BUDAYA LOKAL SASAK

1.        Pendahuluan
Sastra Melayu dikenal sebagai sastra yang identik dengan keislaman, hal ini dilihat dari berbagai hal yang melekat di dalamnya mulai dari kandungan isi sampai dengan penulisannya yang menggunakan huruf Arab Melayu. Sejak jaman dahulu karya sastra baik lisan maupun tulis digunakan sebagai saluran untuk menyampaikan pengajaran dan juga hiburan. Epos-epos dari India seperti Ramayana, Mahabarata, dan Panca Tantra pada awalnya diperkenalkan di Nusantara untuk menyebarkan ajaran-ajaran moral dan tentang agama Hindu. Demikian juga pengembangan budaya Islam mengambil kesempatan yang sama untuk menyalurkan pemikiran-pemikiran Islam ke masyarakat Nusantara. Penulis-penulis Islam menyalurkan karya-karya dari sumber peradaban Islam yang diterapkan di dalamnya ide-ide keislaman. Semua karya tersebut dijadikan media dakwah.
Kesusastraan Melayu berkembang pesat setelah kedatangan agama Islam. Dimana ketika para mubaliq memperkenalkan ilmu pengetahuan Islam sekaligus memperkenalkan huruf Arab sebagai sebuah peradaban baru dalam penulisan karya sastra Melayu (huruf Arab Melayu/Jawi). Di samping penulisan kitab-kitab ilmu agama Islam, tulisan yang bercorak ilmu pengetahuan, hasil kreativitas dan imajinasi pengarang-pengarang Indonesia ini diterapkan dalam pengajaran agama Islam. Karya-karya yang dihasilkan meliputi hikayat pengaruh Islam, syair bercorak mistik dan pengajaran Islam, sejarah, hukum dan undang-undang.  Karya-karya ini ditulis dengan tujuan untuk  menyampaikan pengajaran Islam kepada pembacanya. Keeratan hubungan antara sastra dan masyarakat menjadi saluran utama dalam menyampaikan pengajaran dan juga hiburan.
Karya sastra sebagai karya yang bercorak kreatif lahir dari daya cipta dan imajinasi pengarang, sehingga karya itu akan tunduk kepada kewibawaan seorang sastrawan. Karya-karya kesusastraan Melayu yang bersumber dari peradaban Islam dilakukan oleh penulis-penulis Indonesia dengan menyadur. Para penulis mempunyai kecendrungan yang lebih kuat dalam bidang kesusastraan jika dibandingkan dengan keahlian mereka dalam bidang ilmu-ilmu Islam. Menurut penilaian Ismail Hamid (1989:3), penerapan ide-ide keislaman yang dilakukan oleh para penulis dalam karya kesusastraan Melayu asli atau saduran itu ada yang tergelincir dari intisari pengajaran Islam yang sebenarnya. Karena itu, tidak sedikit tulisan dalam karya kesusastraan Melayu pengaruh Islam itu dianggap sebagai bid’ah karena banyak didapati unsur-unsur rekaan yang digambarkan sebagai suatu pemikiran Islam yang sejati.     
Pelestarian naskah-naskah berhuruf Arab Melayu yang masih ada sekarang ini hanya sebatas sebagai bahan bacaan yang dinikmati secara bersama-sama, yang kemudian dikenal dengan bakayat, ngayat, ngaji kayat, dan nyaer. Di samping itu juga ada naskah-naskah berhuruf Sasak (Jejawan) yang disampaikan dalam tradisi pepaosan.  Pepaosan dan bakayat merupakan praktek budaya yang dilakukan masyarakat Sasak, menurut Teeuw kebudayaan yang masih dikenal dalam masyarakat Indonesia ini sebagai kebudayaan khirografik, sesuatu yang ada dalam bentuk tulis kemudian dilisankan atau diceritakan kembali (1994:39). Tradisi lisan tersebut dalam masyarakat Sasak tidak hanya sebagai media pembelajaran tentang keislaman tetapi juga sebagai pelengkap upacara adat keagamaan. Tradisi ini sejak lama juga sudah dijadikan sebagai media apresiasi masyarakat melalui lantunan dan pengajian makna teks dan tradisi ini  dilestarikan niscaya dapat mencegah teks dari kerusakan. Memang tradisi ini sepi peminat karena tidak dapat disaksikan setiap saat, hanya dipertunjukkan ketika ada upacara adat keagamaan. Tradisi ini digunakan sebagai pelengkap acara adat keagamaan (seperti, khitanan, cukuran, bretes, nyiwak, Maulid Nabi, peringatan Mi’raj Nabi) dan sekaligus sebagai media perantara dan proses kesinambungan budaya yang masih berlangsung sampai saat ini, walaupun komunitasnya terbatas.
Bakayat  sebagai salah satu praktek budaya lokal Sasak, telah turut melestarikan sastra Melayu melalui bentuk apresiasiasi tradisional yang telah dilakukan sejak perkembangan agama Islam di Lombok. Bakayat adalah tradisi sastra masyarakat Sasak di Lombok yang berupa pembacaan hikayat dengan cara menembangkan yang disertai  terjemahan dan penafsiran dalam bahasa Sasak secara bergantian oleh penembang (pemace) dan tukang cerite (bujangge). Tradisi apresiasi sastra semacam ini di kalangan etnik Sasak  memiliki sejarah yang panjang. Data yang ada menunjukkan bahwa tradisi ini  dimulai akhir abad ke-16 atau awal abad ke-17 dan masih berlanjut sampai sekarang (Jamaluddin, 2011:63-88).
Tradisi yang telah berkembang cukup lama ini dalam perjalanannya menunjukkan dinamika literasi yang bercirikan kedaerahan. Bakayat ini merupakan  sebuah tradisi yang lahir dari pertemuan beberapa tradisi yang berkembang dalam lintas perjalanan sejarah masyarakat Sasak. Penelusuran ini menjadi penting untuk dikaji dalam rangka menemukan jati diri dalam praktek budaya lokal terhadap sastra Melayu yang berkembang dalam masyarakat Sasak. Tulisan ini akan mengungkap bagaimana perjalanan sastra Melayu dan  prakteknya dalam budaya lokal Sasak.

2.     Islam dan Sastra Melayu dalam Perkembangannya
Pembicaraan tentang sastra Melayu tidak dapat dilepaskan dengan Islam (sastra Islam). Sastra Islam dikenal oleh masyarakat Sasak sejak akhir abad XVI atau awal abad XVII ketika proses Islamisasi memasuki pulau Lombok. Sastra Islam yang dikenal dalam masyarakat Sasak ada dalam dua bentuk yaitu sastra Islam Jawa dan sastra Islam Melayu. Sastra Islam Jawa yang dibawa oleh penyebar Islam dari Jawa ditulis dalam huruf Jejawan dan berbahasa Jawa Madia. Sastra dalam bentuk ini berupa puisi yang lebih awal memasuki pulau Lombok dan dipraktekkan dalam bentuk tradisi lisan  pepaosan. Tradisi ini merupakan pengaruh dari tradisi macapatan di Jawa dan mabebasan di Bali. Sedangkan sastra Islam Melayu dikenal lewat dakwah yang dilakukan para mubaliq yang berasal dari pengaruh Melayu melalui karya-karya sastra yang  disadur dari bahasa Arab dan Parsi ke dalam bahasa dan tulisan Arab Melayu (huruf Jawi) berkembang belakangan. Sastra Islam Melayu dalam masyarakat Sasak kemudian dipraktekkan dalam bentuk tradisi lisan bakayat. Mengenai keberadaannya dalam masyarakat Sasak, keduanya dapat berterima dalam praktek kehidupan masyarakat.
Dalam pemahaman para ahli tentang sastra Islam memang masih menimbulkan perdebatan, namun perbedaan tersebut tidaklah meniadakan keberadaannya. Dari beberapa pendapat seperti J.D. Pearson, Franz Rosenthal, R.O. Winstedt pada prinsipnya menyatakan bahwa sastra Islam adalah sastra yang menyangkut karya (isi) tentang dan orang Islam. Liaw Yock Fang (2011) dalam Sejarah Kesusastraan Melayu Klasik, mengungkapkan beragam permasalahan mengenai makna sastra Islam. Ada ketidakjelasan tentang makna tersebut, apakah yang mendukung nilai-nilai Islam, berdasarkan kisah-kisah dalam Al-Quran dan Al-Hadist, atau tulisan yang berdasarkan tauhid. Jika merujuk hal di atas, tidak sedikit sastra Melayu lama akan terpaksa harus ditolak karena dianggap bertentangan dengan ajaran Islam. Hal ini juga ditegaskan oleh pandangan Ismail Hamid (1989) seperti diuaraikan di awal.
Satra Islam dalam pandangan R. Roolvink sebagaimana yang dikutip Liaw  membagi menjadi 5 jenis sastra jaman Islam, yakni cerita Al-Quran, cerita Nabi Muhammad, cerita Sahabat Nabi Muhammad, cerita Pahlawan Islam, dan sastra Kitab. Cerita Al-Quran adalah cerita yang dedaktis yang bersifat memberi pelajaran. Cerita ini dikenal sebagai sastra dakwah yang agung. Cerita Al-Quran dalam bahasa Melayu terkenal dengan nama Kisah Al-anbiya. Kisah ini diterjemahkan oleh Haji Azhari Kahalid dari bahasa Arab ke dalam bahasa Melayu mempunyai jalan cerita yang sama dengan Suratul Anbiya (Cohen Stuart 122, Fang,2011:239). Cerita Nabi Muhammad dibagi dalam tiga jenis yaitu riwayat hidup Nabi Muhammad (Hikayat Nabi Hanafiah, Hikayat Nabi, Hikayat Nur Muhammad, dan Hikayat Nabi Wafat), mukjizat Nabi Muhammad (Hikayat Mikraj, Hikayat Bulan Belah, dan Hikayat Nabi Bercukur),dan ketiga cerita Maghazi, cerita peperangan yang disertai Nabi Muhammad dalam mengembangkan Islam (Hikayat Raja Khandak dan Hikayat Raja Lahad).
Cerita tentang Sahabat Nabi Muhammad terdapat segolongan daripada mereka yang amat dekat dengan Nabi Muhammad s.a.w dan dianggapkan sebagai tokoh yang terkemuka dalam Islam (Hamid, 1989:65) Cerita ini selain dalam bentuk tertulis juga dituturkan oleh tukang cerita, sehingga ketokohannya berkembang menjadi legenda dalam masyarakat Islam. Cerita yang termasuk di dalamnya adalah Hikayat Muhammad Hanafiah, Hikayat Tamin Al-dari, Hikayat Abu Syahmah, Hikayat Sama’un, dan Hikayat Raja Khandak. Cerita pahlawan Islam ini biasanya mengisahkan tokoh-tokoh sejarah yang hidup sebelum munculnya agama Islam. Tokoh Iskandar Zulkarnain dan Amir Hamzah; Saif Dzul-Yazan yang membantu raja Himyarite mengalahkan raja Abesenia dan Sultan Ibrahim yang bijaksana. Menurut Roolvink, yang digolongkan ke dalam sastra kitab adalah kajian tentang Al-Quran, tafsir, tajwid, arkan ul-Islam, usuluddin, fikih, ilmu sufi, ilmu tasawuf, tarikat, zikir, rawatib, doa, jimat, risalah wasiat, dan kitab tib (obat-obatan, jampi-menjampi). Baroroh Baried berpendapat lain tentang sastra kitab, yang dikatakan sebagai sastra tasawuf yang berkembang di Aceh pada abad ke-17 (Sulastin Sutrisno,dkk, 1985, Fang, 2011:380).
Sastra Islam mempunyai pengaruh besar terhadap perkembangan sastra di Indonesia, yakni sastra Melayu Islam dan sastra Jawa Islam. Sastra Melayu dapat dikatakan identik atau lebih dikenal sebagai sastra Melayu Islam karena didukung oleh  media bahasa Melayu dan huruf Arab Melayu (Jawi). Dalam perkembangannya terjadi integrasi yang kokoh antara tradisi sastra budaya Melayu dan Islam, Islam telah memperkaya, mendinamisir serta mengangkat derajat sastra Melayu. Simuh dalam tulisannya tentang Kesusastraan Islam Melayu dan Kejawen di Indonesia, menegaskan bahwa Islam ya Melayu, dan sebaliknya Melayu ya Islam, keduanya laksana dua permukaan dari satu mata uang (1998:19).  Kondisi ini sedikit berbeda dengan sastra Jawa Islam, dimana Islam cukup lama dipandang sebagai agama dan budaya dilingkungannya sudah lama dihaluskan oleh tradisi besar kerajaan Majapahit dan unsur Hinduisme. Simuh juga menegaskan tentang sastra Jawa Islam yang dikatakan kaya dengan sastra Islam-Kejawen lantaran para pemikir dan sastrawan didominasi para priyayi Jawa.   
Dalam masyarakat Sasak yang mayoritas Islam menyambut baik kehadiran kedua sastra Islam sebagai karya sastra dakwah yang agung. Keduanya mendapat tempat yang sama dalam kehidupan masyarakat, karena perkembangan sastra Sasak tidak terlepas dari pengaruhnya. Pendapat Van Ronkel yang menyatakan tentang naskah yang menyangkut agama Islam maka naskah Melayunya yang lebih tua, namun dalam prakteknya sastra Jawa Islam lebih awal berkembang di Lombok dibanding Melayu sehingga lebih dikenal dan mengakar di masyarakat. Namun demikian,   sastra Islam yang identik dengan Melayu yang dikenal kemudian diperlakukan sama, ini dilihat dari apresiasi masyarakat Sasak terhadap karya-karya sastra Melayu Islam juga cukup tinggi. Sastra inilah yang kemudian dipraktekkan dalam budaya lokal Sasak dikenal dengan bakayat.
Sastra Melayu yang berkembang dalam masyarakat Sasak yakni, cerita Al-Quran, cerita Nabi Muhammad, cerita Sahabat Nabi Muhammad, cerita Pahlawan Islam, dan sastra Kitab. Namun tidak semua mendapat apresiasi yang sama, dalam praktek budaya hanya sebagian terutama yang terkait dengan cerita Al-Quran (Kisah al-anbiya terutama Nabi Ibrahim dan Yusuf, Kifayatul al-muhtaj), dan cerita Nabi Muhammad (Hikayat Nur Muhammad, Bulan Belah, Nabi Bercukur). Hikayat-hikayat yang disebutkan di atas paling sering dibacakan pada hari-hari tertentu yang terkait dengan peringatan keagamaan (Maulid Nabi dan Mi’raj) dan acara adat keagamaan seperti, perkawinan, khitan, cukuran, nyiwak atau peringatan 9 hari kematiaan seseorang. Dalam perkembangan penulisan sastra Sasak tidak sedikit pengaruh Melayu masuk dan berkolaborasi, yang kemudian memunculkan karya saduran, terjemahan, dan juga hasil kreativitas para penulis lokal.    
     
3.         Sastra Melayu dalam Masyarakat Sasak
Sastra Melayu yang tidak dapat dipisahkan dengan Islam juga terjadi dalam sastra Sasak, karena hampir seluruh karya-karya sastra Sasak yang berkembang dari dahulu sampai kini berbicara tentang Islam dan masyarakatnya. Sastra Islam sebagaimana yang dikemukakan di atas membuktikan bahwa dalam perkembangannya telah memasuki ranah-ranah kehidupan budaya masyarakat Nusantara. Sastra menjadi bukti sejarah yang lebih lengkap, bisa banyak bicara tentang warna Islam yang menyebar di Indonesia (Simuh, 1998:22). Melalui karya sastra dan wujud apresiasinya kita dapat mencermati perkembangannya, apakah satra progresif yang muatan isi ajarannya cukup rasional dan ilmiah ataukah sastra ekspresif yang isi ajarannya lebih banyak berdasarkan perasaan, intuisi, dan imajinasi.
Jika dilihat dari perkembangannya, sastra Sasak banyak diwarnai oleh sastra Jawa Islam. Menurut Adrian Vickers, keislaman penduduk Sasak di Lombok banyak berhutang kepada Islam-Jawa dalam berbagai bentuk (2009:45). Salah satunya adalah dibidang sastra, dimana pengaruh Jawa dalam budaya Sasak yang menonjol pada sastra “Pesisiran” dalam berbagai versi teks. Di samping itu, adanya tradisi kuat bahwa agama  Islam dibawa ke Lombok oleh Pangeran Prapen, putra Sunan Giri pada abad ke-16 sebagaimana termuat dalam berbagai sumber. Hal ini lebih menguatkan akan pengaruh Jawa dalam berbagai tradisi yang berkembang di Lombok. Perkembangan di bidang sastra juga tidak dapat dilepaskan dengan masuknya kekuasaan Kerajaan Karangasem-Bali yang lebih dahulu mendapat pengaruh Jawa Hindu yang dipraktekkan dalam kehidupan budaya lokal, seperti pepaosan. Dimana tradisi sastra Jawa dapat tumbuh subur di kalangan masyarakat Sasak karena pihak penguasa ketika itu memberikan dukungan kuat.
Jika sastra Jawa Islam masuk bersamaan dengan berkembangnya Islam, maka sastra Melayu Islam datang ketika Lombok telah terislamkan. Kehadiran sastra Melayu Islam diyakini kedatangannya dibawa oleh para mubaliq dari semenanjung Melayu dalam rangka memantapkan keislaman penduduk Lombok. Kehadiran sastra Melayu dengan segala tradisinya,  kemudian berkembang sebagai media dakwah dan pendidikan bagi para santri di beberapa pondok pesantren. Perkembangan ini mendapat apresiasi yang positif dari masyarakat terutama di kalangan Islam Sasak waktu lima yang dianggap lebih sesuai dan mudah dipahami. Sastra Melayu yang ditulis dalam bentuk kitab bertuliskan Arab Melayu menjadi bahan bacaan dalam pembelajaran agama Islam, tradisi pembacaan dengan cara melagukan kemudian berkembang di kalangan pesantren dan kelompok-kelompok masyarakat.    
Sastra Melayu yang berkembang dalam masyarakat Sasak yakni, cerita Al-Quran, cerita Nabi Muhammad, cerita Sahabat Nabi Muhammad, cerita Pahlawan Islam, dan sastra Kitab. Namun tidak semua mendapat apresiasi yang sama, dalam praktek budaya hanya sebagian terutama yang terkait dengan cerita Al-Quran (Kisah al-anbiya terutama Nabi Ibrahim dan Yusuf, Kifayatul al-muhtaj), dan cerita Nabi Muhammad (Hikayat Nur Muhammad, Bulan Belah, Nabi Bercukur). Hikayat-hikayat yang disebutkan di atas paling sering dibacakan pada hari-hari tertentu yang terkait dengan peringatan keagamaan (Maulid Nabi dan Mi’raj) dan acara adat keagamaan seperti, perkawinan, khitan, bretes, cukuran, nyiwak atau peringatan 9 hari kematiaan seseorang. Dalam perkembangan penulisan sastra Sasak tidak sedikit pengaruh Melayu masuk dan berkolaborasi, yang kemudian memunculkan karya saduran, terjemahan, dan juga hasil kreativitas para penulis lokal.   
  
4.         Sastra dalam Praktek Budaya Lokal
Karya satra Jawa dan Melayu Islam  mendapat sambutan yang semarak di masyarakat, karena kedua hasil karya sastra tersebut cukup dikenal, sering diperbincangkan dalam konteks keagamaan. Di kalangan budayawan dan pelaku/pencinta sastra lama, sastra Sasak pengaruh Jawa lebih dihargai dibanding dengan sastra Melayu. Mengapa hal ini bisa terjadi, ada berbagai alasan untuk mengatakan kedudukan kedua sastra ini dalam prakteknya di masyarakat Sasak dibedakan, 1) media yang digunakan, Sastra Sasak dianggap lebih sakral dibanding Melayu, karena ditulis di daun lontar (takepan), hurufnya lebih kuno dan mencerminkan kedaerahan (jejawan)  dan Melayu di kertas (kitab),  huruf Arab Melayu mencerminkan lebih muda dan asing sehingga tampak kurang sakral; 2) isi cerita yang disampaikan keduanya berlatar keislaman. Dalam sastra Sasak latar cerita lebih dekat dengan budaya Nusantara dan Islam ada dalam bungkus budaya. Sastra Melayu lebih kental nuansa pengajaran keislamannya dibanding isi cerita, ini sejalan dengan pandangan Van Ronkel tentang ketuaan sastra Melayu dibanding sastra Jawa ketika menyangkut keislaman; 3) penyajian dalam bentuk pertunjukan, sastra Sasak (pepaosan)  wajib diawali dengan kelengkapan ritual seperti, penginang, andang-andang, air kembang, dan dulang penamat, sedangkan dalam bakayat tidak wajib. 4) penyampaian kedua bentuk sastra ini menggunakan lagu/tembang. Sastra Sasak (pepaosan) menggunakan jenis tembang yang relatif tetap (sinom, pangkur, ginanti, asmarandana, dandang gula, gugur mayang) sedang dalam bakayat tidak ada nama tembang dan menggunakan irama/ tembang Melayu untuk semua kitab/hikayat yang dibaca. Namun dalam perkembangannya setiap pemace mempunyai kreasi sendiri dalam melagukan setiap penggalan dalam teks.    
Praktek budaya lokal Sasak dalam sastra Melayu dapat dicermati salah satunya dalam pembacaan kitab Qisassul Anbiya tentang Nabi Yusuf yang dipertunjukkan oleh sebuah kelompok bakayat dari Dasan Lendang, Bayan, Kabupaten Lombok Utara.
Bismillahirrahmanirrahim, alkazzam menyatakan kisah nabi Allah Yusuf bertemu; (Bahasa Melayu/ BM)
Bismillahirrahmanirrahim dengan nama Allah yang bersifat pengasih dan penyayang  bagi hambanya. Araq sopoq cerite siq te ceritaang beraran Nabi Allah Yusuf kekasih  Allah SWT; (Bahasa Sasak/ BS)
Bismillahirrahmanirrahim dengan menyebut nama Allah yang maha pengasih dan penyayang bagi hambanya. Dikisahkan sebauh cerita yang bernama Nabi Allah Yusuf kekasih SWT (Bahasa Indonesia / BI)
Dengan segala saudaranya kata yang empunya cerita; (BM)
Siq keteceritayang kanak bajang ni inges solah bedait kance semeton ne wah ne te  siq jual siq...ape arane...saudaranya; (BS)
Dikisahkan bahwasanya ada seorang anak muda yang dikarunia wajah tampan melebihi segalanya, konon pada kisah ini Yusuf bertemu dengan saudaranya setelah sekian lama terpisahkan semenjak usia anak-anak ketika saudaranya menjualnya (BI)
Jika dicermati dari bentuk penyajiannya, dimana dalam setiap penggalan yang ditembangkan diterjemahkan ke dalam bahasa Sasak dan disertai dengan penjelasan atau penafsiran dari tukang cerite (bujangge) terhadap teks. Penonton/pendengar tidak saja menikmati alunan tembang dari pemace (pembaca) tetapi juga mencermati kata-kata yang digunakan bujangge dalam menggambarkan serta menafsirkan setiap penggalan yang disampaikan. Penonton/pendengar dapat menyetujui atau menolak setiap penjelasan dan penafsiran bujangge, namun dalam tradisi ini tidak ada komunikasi dua arah hanya satu arah. Tembang yang digunakan pemace awalnya menggunakan irama tembang dari pembacaan hikayat di daerah Semenanjung Melayu, namun dalam perkembangannya banyak dipengaruhi oleh tembang Sasak sehingga pemenggalan teks hikayat didasarkan selera pemace. Mengenai istilah pemace dan tukang cerite (bujangge) serta penyarup yang digunakan dalam pepaosan juga digunakan dalam bakayat di samping itu peran dan tugasnya juga sama. Dalam satu kelompok pembaca hikayat (bakayat) terdiri dari minimal tiga orang, satu orang bertindak sebagai pemace, satu  orang sebagai bujangge, dan penyarup dapat dilakukan oleh beberapa orang termasuk pemace dan bujangge karena sifatnya hanya menembangkan suku kata akhir secara beramai-ramai dari penggalan kalimat yang dibaca.  
Dalam tradisi ini terkandung kearifan lokal selain sebagai penanda identitas komunitas, tetapi juga akan mengubah pola pikir dan hubungan timbal-balik individu dan kelompok dengan meletakkan di atas common ground / kebudayaan yang dimiliki (Abdullah, Edt.,dkk., 2008:10). Kehadiran bakayat sebagai hasil praktek budaya lokal yang mampu memelihara dan mengelola menjadi kreativitas baru yang bermanfaat bagi masyarakat. merupakan bentuk apresiasi yang tinggi terhadap sastra Melayu. Penghargaan masyarakat terhadap sastra Melayu sejalan dengan kandungan isi yang penuh dengan nuansa keislaman sehingga bukan sekedar menjadikan sastra sebagai hiburan tetapi lebih sebagai bacaan dalam memahami Islam.   Dan ketika sastra Melayu Islam dipraktekkan dalam kehidupan tradisi masyarakat Sasak, semakin memantapkan kedudukannya dalam berbagai fungsi-fungsi sosial, dan adat keagamaan.
Dalam fungsi sosial bakayat dijadikan sebagai media komunikasi untuk menyampaikan berbagai informasi yang dianggap berguna dan menambah wawasan penonton/pendengar. Bujangge ketika menerjemahkan dan menjelaskan teks yang dibaca diselingi dengan pesan-pesan tentang kehidupan dalam bermasyarakat menurut tuntunan Islam dan aturan-aturan pemerintahan yang berlaku. Dalam praktek adat keagamaan pada beberapa komunitas masyarakat Sasak masih memfungsikan bakayat sebagai pelengkap ritual seperti, khitanan, ngurisang (cukur), nyiwak, bretes, perkawinan,  Maulid Nabi, Mi’raj. Dimana bakayat dilaksanakan pada malam hari sebelum acara pokok, hikayat yang dibaca disesuaikan dengan acara seperti cukur, khitan (hikayat Nabi Bercukur atau Nabi Yusuf), perkawinan (Nabi Yusuf), Nyiwak (Qisbul Gaibiyah, Kurtubi, Da’kok,Jawahir), Maulid Nabi (Hikayat Nabi Muhammad, Mukjijat Nabi), bretes (Hikayat Bunga Rus), dan Mi’raj (Kifayatul al-Muhtaz,  Jafar Sadiq).  
Tradisi ini merupakan bentuk pelestarian dan apresiasi sastra Melayu Islam, mungkin di daerah lain hanya sebagai bahan bacaan yang dinikmati oleh per orangan atau secara bersama sebagai hiburan dan pembelajaran tentang keislaman. Di samping itu, sastra Melayu dalam beberapa komunitas etnis  Sasak mempunyai nilai religius dan kesakralan sehingga beberapa bacaan hikayat dijadikan sebagai pelengkap upacara ritual adat keagamaan. Perkembangan Islam modern juga telah banyak meniadakan berbgai tradisi yang pernah ada, sehingga tradisi tersebut dianggap bid’ah, kurafat, dan mengandung takhayul. Sepanjang tradisi ini difungsikan maka sepanjang itu pula sastra Melayu akan bertahan dalam kehidupan kesastraan masyarakat Sasak. Jika fungsi ini tidak ada lagi niscaya sastra Melayu hanya tinggal sebagai kenangan dalam perjalanan sastra Melayu di tanah Sasak. 

5.        Penutup
Tradisi lisan bakayat adalah salah satu praktek budaya lokal Sasak yang menggunakan sastra Melayu Islam sebagai bacaan. Sastra Melayu masuk ketika  Lombok sudah diislamkan oleh Pangeran Prapen, dan sekaligus dengan tradisi sastra Jawa Islamnya. Kehadiran sastra Melayu Islam yang dibawa oleh para mubaliq bertujuan untuk memantapkan keislaman penduduk Lombok, sambil membawa tradisi Melayu yang dijadikan sebagai media dakwah. Tradisi sastra Melayu kemudian dipraktekkan dalam budaya lokal Sasak yang dikenal dengan bakayat. Bakayat di samping sebagai media apresiasi juga digunakan berbagai fungsi  kehidupan, seperti pelengkap acara adat keagamaan. Tradisi ini dapat dijadikan sebagai salah satu bentuk pelestarian sastra Melayu Islam yang dilakukan oleh masyarakat Sasak. Upaya pelestarian terhadap tradisi ini perlu dilakukan oleh semua pihak dengan berbagai upaya yang strategis sesuai kapasitas yang kita miliki.

Rabu, 16 Februari 2011

Lawas Samawa dalam Konfigurasi Budaya Nusantara

LAWAS SAMAWA DALAM
KONFIGURASI BUDAYA NUSANTARA *)
Made Suyasa

Univ. Muhammadiyah Mataram
1. Pendahuluan
Etnis Sumbawa (Samawa) mempunyai karya sastra lisan yang tumbuh dan berkembang dalam masyarakat sejak zaman dahulu, salah satunya dalam bentuk puisi lisan. Puisi lisan yang dikenal dengan nama lawas merupakan media komunikasi dan ekspresi bagi masyarakat pemiliknya. Lawas sebagai fenomena budaya merupakan cerminan dari nilai-nilai yang hidup pada masyarakat di zamannya, karena itu nilai budaya tersebut sangat bersifat kontekstual.
Lawas sebagai salah satu bentuk sastra lisan dalam masyarakat Sumbawa (Samawa) merupakan fenomena kebudayaan yang akan tetap hadir di tengah-tengah masyarakatnya. Cerminan nilai budaya daerah telah digunakan dalam mengembangkan budaya nasional, sehingga menempatkan sastra lisan sebagai bagian dari kebudayaan nasional yang harus dilestarikan. Maka sudah sepantasnyalah mendapatkan perhatian dari semua pihak untuk menindaklanjuti semua itu dalam berbagai bentuk kegiatan.
Lawas telah dimanfaatkan secara luas oleh masyarakatnya dalam berbagai aktivitas kehidupan, seperti saat menuai padi, karapan kerbau, upacara adat keagamaan seperti perkawinan dan sunatan, serta dalam berbagai bentuk hiburan. Lawas tidak dimiliki oleh perorangan tetapi merupakan milik bersama masyarakat sebagaimana sastra lisan yang hidup di daerah lain. Secara turun temurun lawas dalam penyampaiannya dinyanyikan baik oleh perorangan maupun kelompok yang disebut balawas. Balawas kemudian menjadi sebuah seni penyampaian lawas yang dipertunjukkan dihadapan orang banyak untuk keperluan upacara adat atau hiburan. Balawas di samping memanfaatkan lawas dan temung (tembang) ada juga memanfaatkan seni lain sebagai pendukungnya yakni seni musik. Balawas kemudian menjadi seni menyampaikan lawas yang dikenal dalam bentuk saketa, gandang, ngumang, sakeco, langko, badede, dan basual (Suyasa, 2002:7).
Kehidupan sastra lisan akan selalu mengalami perubahan sesuai dengan dinamika masyarakat pemiliknya (Tuloli,1991:2). Perubahan tersebut meliputi pola dan cara pandang tentang kehidupan, serta terbatasnya kemampuan masyarakat dalam menginterpretasikan warisan budaya yang diterimanya. Kemampuan yang terbatas pada masyarakat dalam mewarisi kekayaan budaya yang berupa sastra lisan serta adanya arus pengaruh dari luar akan menyebabkan hilangnya beberapa bentuk sastra serta terjadinya pergeseran makna, fungsi, dan timbulnya variasi bentuk. A.Teeuw (1984:330) mengatakan bahwa sastra lisan pun sering mempunyai dinamika intrinsik yang kuat sekali ataupun berubah akibat pengaruh asing (tulis atau lisan). Sastra lisan di Indonesia sangat memungkinkan terjadinya perubahan, hal ini akibat pergesekan antar budaya yang sangat tinggi walaupun pada beberapa ragam dasar barangkali bertahan lama. Disadari atau tidak oleh masyarakat pemiliknya ternyata dalam perkembangannya lawas telah melahirkan berbagai konfigurasi sebagai gambaran keterbukaan masyarakat dalam menerima budaya orang lain yang dianggap masih sejalan dengan budaya
Samawa. Konfigurasi ditunjukkan dalam bentuk (struktur), isi, dan penyajian lawas.
Konfigurasi yang terbangun dalam sastra lisan lawas mencerminkan gambaran budaya Nusantara sebagai wujud persahabatan dan berterimanya terhadap budaya lain. Bentuk lawas juga mempunyai beberapa kesamaan seperti dengan pantun Bugis dan patu’u Bima ditunjukkan dari jumlah baris yakni yang mempunyai betuk tiga baris. Isi lawas sangat kontektual peristiwa dalam berbagai lapisan masyarakat mampu terakomodasi dengan baik menjadikan lawas sebagai media komunikasi dan persahabatan. Lawas sebagai mana sastra lisan yang lain ciri utama penyampaiannya dalam bentuk pertunjukan lisan seperti, balawas, sakeco, saketa, ngumang, gandang, langko, badede, basual yang juga memadukan berbagai peralatan seperti rebana ode/rea, serunae, genang dan lain sebagainya yang punya kemiripan dengan daerah di luar Samawa.
Ekspresi sastra lisan lawas Samawa yang tercermin dalam bentuk, isi, dan penyajian lawas merupakan bagian dari sebuah gambaran konfigurasi budaya Nusantara yang perlu ditelusuri lebih jauh untuk mengetahui keberadaannya dalam masyarakat, proses perkembangannya, dan ragam penyampaiannya yang sangat kontekstual. Dalam konteks ini budaya sebagai wahana perekat antar masyarakat antar suku bangsa setidaknya mampu meminimalkan berbagai persoalan yang muncul dikemudian hari.
Dalam tulisan singkat ini penulis mencoba untuk mengangkat persoalan ini dengan harapan akan dapat memberikan informasi tentang keberadaan lawas Samawa dengan berbagai bentuk dan perkembangannya. Di samping itu, sebagai bentuk kepedulian kita terhadap keberadaan sastra lisan yang semakin lama semakin sedikitnya mendapat perhatian dari para peneliti sastra dan juga masyarakat pemiliknya termasuk pemerintah daerah. Sebagai bentuk penyadaran akan betapa besarnya sumbangan yang telah diberikan oleh sastra lisan (lawas) sejak zaman dahulu hingga saat ini dalam menjaga nilai-nilai kearifan budaya lokal dan nusantara.
2. Perjalanan Sejarah Sumbawa
Sumbawa adalah sebuah pulau yang ditempati oleh empat kabupaten dan satu kota madia, lawas tumbuh, hidup, dan berkembang di dua kabupaten yaitu Kabupaten Sumbawa dan Kabupaten Sumbawa Barat (KSB) yang dulunya menjadi satu kabupaten dan pada beberapa tahun yang lalu berpisah membentuk kabupaten sendiri yaitu KSB. Namun kedua kabupaten ini mempunyai sejarah perkembangan yang sama dan bahasa yang sama yakni bahasa Sumbawa, Kota Sumbawa Besar sebagai pusat pemerintahan pada zaman Kesultanan Sumbawa telah menjadi pusat peradaban kebudayaan Samawa, dan dari sinilah simpul-simpul budaya Samawa menyebar ke wilayah timur dan barat Sumbawa.
Beberapa catatan sejarah menunjukkan bahwa nama Sumbawa sudah dikenal dalam berita Cina tahun 1225 dari Chau-Ju-Kua yang menulis Chu-Fan-Chi, yang menyebut nama Sumbawa sebagai daerah taklukan kerajaan Kediri (Jawa). Dalam syair ke empat belas dari Negara Kertagama (1365) disebut nama tertinggi pulau Sumbawa yang telah menjadi bagian dari Kerajaan Majapahit seperti Taliwang, Dempo(Dompu), Sapi(Sape), Bhima(Bima), Ceran(seran, seteluk), Hutan(Utan). Nama Sumbawa juga muncul dalam Kidung Ranggalawe dan Kidung Pamancangah yang menyebut kuda-kuda Sumbawa (yakni di Kere
Bima tepatnya di teluk Sanggar) bagus. Selain itu dalam Kidung Pamancangah disebut pula tentang penguasa Bedahulu (Bedulu Bali) yang bernama Ki Pasung Grigis atas perintah Jawa mengadakan ekspedisi Chambhawa (Sumbawa). Catatan sejarah berlanjut ketika mulai masuknya Islam yang menurut Zollinger bahwa Islam masuk ke pulau Sumbawa antara tahun 1440-1450 dan agama ini tersiar dari Jawa. Dalam Babad Lombok juga dikatakan bahwa Islam dari Jawa masuk ke Sumbawa, Dompu, dan Bima via Lombok, namun hal ini dibantah dalam Bo Mbojo (Kronik Bima) yang menyatakan bahwa Islam masuk ke Bima via Makasar. Zollinger (1850) menyebut adanya interaksi yang cukup menarik di luar penduduk asli Sumbawa yakni adanya kehadiran sejumlah besar orang-orang Bugis, Makasar, dan Bajo yang berdiam di sepanjang pantai utara Sumbawa. Ligchvoet (1876) juga menyebutkan selain kedatangan orang Bugis dan Makasar ke pulau ini juga ke datangan orang Selayar, Mandar, dan Arab.
Sumbawa tampaknya menjadi daerah yang sangat menarik dan terbuka bagi setiap pendatang sehingga pulau ini menjadi semakin beragam penghuninya yakni dari berbagai suku bangsa. Lebih dari seperempat abad sebelum Ligchvoet dan Zollinger menyebut pula orang-orang asing lain di Sumbawa, misalnya dari Jawa, Bali, Sasak, dan Manggarai. Mereka adalah keturunan dari orang-orang yang datang pada abad sebelumnya (Syamsuddin, 1982:9). Seperti halnya dengan kesultanan Bima, kesultanan Sumbawa juga menjalin hubungan dan berorientasi ke utara yaitu Sulawesi (Makasar) yang ditindaklanjuti dengan perkawinan politik untuk mengimbangi apa yang dilakukan oleh kesultanan Bima. Di samping itu hubungan dan orientasi kesultanan Sumbawa juga di arahkan ke barat semula menunjukkan perhatian ke Selaparang (Lombok) dimana Sumbawa sempat menguasai Lombok bagian timur namun harus berkompetisi dengan Bali yang akhirnya Sumbawa terdesak pada abad ke-18. Namun pada abad ke-19 setelah beberapa tahun Indonesia merdeka Sumbawa-Lombok bersatu kembali menjadi provinsi Nusa Tenggara Barat dengan ibu kotanya Mataram sampai saat ini.
3. Lawas sebagai Puisi Rakyat
Membicarakan sastra lisan sebagai sastra rakyat yang tumbuh, hidup, dan berkembang dalam masyarakatnya di wilayah Nusantara menjadi sangat menarik, mengingat bentuk ekspresi yang berbeda-beda. Menurut Hutomo (1991:60) dalam sastra lisan atau kesusastraan lisan ekspresi kesusastraan masyarakat sebenarnya dapat dibagi menjadi dua bagian, yaitu (1) sastra lisan yang lisan (murni) adalah sastra lisan yang benar-benar dituturkan secara lisan; dan (2) sastra lisan yang setengah lisan adalah sastra lisan yang penuturannya dibantu oleh bentuk-bentuk seni yang lain. Dalam sastra lisan murni seperti puisi rakyat disampaikan dengan dilagukan/diiramakan (menggunakan irama/tembang). Sastra lisan yang setengah lisan disampaikan dengan bantuan seni lain seperti gendang, rebana, gong, seruling, dan sebagainya. Dari segi genre atau jenis sastra lisan dapat berbentuk puisi rakyat, prosa rakyat, dan teater rakyat.
Lawas sebagai puisi rakyat dikatakan sebagai ciptaan manusia yang dilahirkan dan dinyatakan dengan bahasa, baik lisan maupun tulisan yang menimbulkan rasa keindahan dan keharuan dalam lubuk jiwa manusia (Rayes, 1991:4). Lawas sebagai puisi rakyat hingga kini masih tetap menjadi bentuk ekspresi masyarakatnya sebagai milik bersama rakyat bersahaja secara turun-temurun (folk literature). Lalu Manca mengemukakan bahwa lawas dikatakan
sama dengan sanjak yang pertama kali diperkenalkan oleh seorang pujangga dari kota Lawas. Lawas dikatakan mendapat pengaruh “Elompugi” (Elong Ugi) syair Bugis. Lawas adalah syair yang terdiri dari (3,4,6) baris dan tiap barisnya terdiri dari delapan suku kata (1984:34). Mengenai kata lawas yang diidentikkan dengan nama salah satu kota asal pujangga yang membawanya banyak budayawan Sumbawa menolak perkiraan itu, karena lawas tumbuh, hidup dan berkembang dari bahasa Samawa. Sumarsono,dkk. dalam Kamus Sumbawa-Indonesia terbitan Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa, lawas adalah sejenis puisi tradisi khas Sumbawa, umumnya terdiri dari tiga baris, biasa dilisankan pada upacara-upacara tertentu (1985:75). Sebagai bentuk ekspresi yang paling dikenal dalam masyarakat, lawas merupakan cermin jiwa anak-anak, getar sukma muda-mudi, dan orang tua. Berdasarkan ekspresinya (kandungan isi) lawas dikenal sebagai lawas tau ode (anak-anak), lawas taruna dadara (muda-mudi), dan lawas tau loka (orang tua).
Lawas Tau Ode, lawas yang isinya tentang dunia anak-anak. Lawas anak-anak biasanya disampaikan sebagai bentuk ekspresi rasa kasih sayang seorang ibu atau kakak yang sedang mengasuh sang bayi, lawas jenis ini biasanya disampaikan saat akan menidurkannya.
Dede intan mua dewa Duhai sayang duhai gusti
Mua bulaeng tu tino Duhai emas yang di dulang
Cante jina asi diri Sungguh pandai meratap diri
Lawas Taruna-Dadara, lawas yang isinya tentang perkenalan, percintaan, perpisahan, dan lain sebagainya.
Ajan sumpama kulalo Seandainya aku bertandang
Kutarepa bale andi Mampir di rumah adinda
Beleng ke rua e nanta Adakah gerangan belas kasihan
Lawas Tau Loka, lawas yang isinya tentang nasehat atau pesan bersifat dedaktis yang diberikan oleh orang tua kepada anaknya atau kepada yang lebih muda. Lawas ini biasanya berisikan ajaran moral, agama dan lawas ini sering dipakai untuk menasehati pasangan pengantin.
Pati pelajar we ate Patuhi ajaran wahai sukma
Namun pina buat lenge Jangan tunaikan laku buruk
Pola tu leng desa tau Tahu diri dirantau orang
Lawas sebagai puisi rakyat yang hidup dalam masyarakat Samawa telah dijadikan sebagai performing art karena di dalam penyajian/ penyampaian lawas menggunakan irama lagu tertentu (temung) yang disesuaikan dengan bentuk penyampaiannya. Penyampaian lawas Samawa secara garis besar ada dua versi yang dikenal dengan versi Ano Siyup (daerah dibagian timur /tempat matahari terbit) dan versi Ano Rawi (daerah di bagian barat/ tempat matahari terbenam). Versi Ano Siyup berkembang di daerah tertentu yakni dibagian timur kabupaten Sumbawa (Empang, Pelampang, Moyo Hilir/Hulu, Kota Sumbawa), versi ini dalam penyampaian lawas-nya mempunyai irama yang sedikit lebih lambat. Sedangkan versi Ano Rawi berkembang di daerah bagian barat kabupaten Sumbawa meliputi Kecamatan Utan, Alas, dan daerah kecamatan di Kab. Sumbawa Barat (Taliwang, Seteluk,Jereweh), versi ini dalam penyampaian lawas-nya mempunyai irama yang lebih cepat, karena itu dalam penyapaian lawas sakeco yang menggunakan rebana versi ini biasanya memakai rebana ode yang suaranya lebih kecil dan melengking.
Penyampaian lawas ada dalam berbagai bentuk dengan temung dan ada dengan peralatan musik seperti rebana ode, rea,serunae, gong genang, bentuk penyampaian tersebut seperti, balawas, gandang, saketa, ngumang, badede, basual, langko, dan sakeco.
Balawas, bentuk penyampaian lawas dimana lawas yang disampaikan secara beramai-ramai oleh para wanita bianya dalam rangkaian perkawinan. Lawas yang biasanya disampaikan pada saat seperti ini disesuaikan dengan upacara yang dilaksanakan, seperti pengantin sedang barodak (luluran) atau setelah akad nikah, resepsi perkawinan biasanya lawas yang dilantunkan adalah lawas muda-mudi dan lawas yang berisi nasehat.
Gandang, sekelompok muda-mudi yang melantunkan lawas dengan diiringi serune (seruling) atau pukulan alu. Jika lawas disampaikan dengan iringan seruling disebut gandang suling, sedangkan jika diiringi pukulan alu disebut gandang nuja.
Saketa, lawas yang dikumandangkan oleh sekelompok orang sebagai pernyataan kegirangan atau pembangkit semangat saat mengadakan permainan rakyat atau bergotong royong membangun rumah dan mengangkat kayu-kayu untuk menyemangati.
Ngumang, lawas yang disampaikan pada saat acara karapan kerbau dan berempuk (tarung tradisional ala Samawa) dimana bertujuan untuk menyemangati para peserta dan juga membangkitkan semangatnya dengan menyampaikan lawas.
Badede, menembangkan lawas yang ditujukan untuk anak menjelang tidur (menina bobokan). Lawas yang biasanya dinyanyikan oleh seorang ibu atau kakak yang meninabobokan atau mengasuh bayi, dan lawas yang disampaikannya pun adalah lawas permohonan kepada Tuhan agar anak panjang umur, berguna bagi keluarga, agama, nusa dan bangsa.
Basual, berasal dari kata sual artinya soal, basual adalah menyampaikan soal yang berupa sampiran dari sebuah lawas dan mengharapkan jawaban berupa isi dari peserta yang hadir. Basual biasanya dilakukan oleh masyarakat Samawa pada saat gotong royong mengerjakan rumah atau sedang memotong padi di sawah atau setelah acara perkawinan berlangsung.
Langko, penyampaian lawas yang dilakukan oleh sekelompok pemuda dan sekelompok pemudi yang saling beradu lawas cinta. Lawas yang disampaikan dalam langko berbeda dengan basual, dimana saat malangko lawas yang disampaikan harus dijawab dengan lawas yang tidak kalang pentingnya adalah keindahan temung.
Sakeco, bentuk penyampaian lawas yang paling digemari oleh masyarakat Samawa karena isi dan bentuk penyampaiannya yang sangat komunikatif, dan lawas yang disampaikannya pun dari berbagai jenis dengan irama temung yang sangat variatif. Sakeco sebagai seni penyampaian lawas menggunakan rebana sebagai pengiringnya yang selalu menyesuaikan dengan irama temung. Berbagai konfigurasi telah terbangun di antara pilar-pilar yang membangun lawas sebagai puisi rakyat, apakah pilar berupa bentuk lawas, pilar isi yang menyesuaikan dengan situasi dan kondisi yang berkembang dan juga muatan kepentingan, serta pilar yang berwujud penyampaian sebagai bentuk kedekatan lawas dengan masyarakatnya dalam menjalin komunikasi sekaligus sebagai media pewarisan puisi rakyat.
4. Tonggak Budaya Samawa
Lawas yang dikenal luas dalam masyarakat Samawa tidak diketahui kapan kemunculannya sebagai sastra lisan yang hidup secara turun temurun dari satu generasi ke generasi berikutnya yang penyebarannya dari mulut ke mulut. Menyadari akan keberadaannya sebagai sastra lisan, lawas sulit untuk ditelusuri kapan mulainya dan bagaimana awal mula bentuk dan pemanfaatannya oleh masyarakat Samawa. Data-data sejarah mengenai awal keberadaan lawas belum pernah dijumpai sampai saat ini (Rayes, 1991:3).
Lawas yang berinduk pada bahasa Samawa tak dapat pula diketahui kapan mulai pertumbuhannya di tengah-tengah masyarakat. Yang jelas ketika penduduk Sumbawa hidup dalam lingkungan masyarakat yang masih primitif, di saat itulah bahasa Sumbawa awal mulanya tumbuh setelah melalui berbagai proses dan pembauran kebudayaan aneka suku bangsa yang menghuni tana Samawa. Lawas telah menjadi bagian dari bentuk ekspresi masyarakat dalam berbagai aktivitas kehidupannya, seakan lawas adalah tempat mereka berkeluh kesah, bersenda gurau, merekam berbagai peristiwa, merenungkan berbagai nilai-nilai kebijakan baik dalam bentuk petuah adat maupun agama.
Kehadirannya dalam kehidupan kultur manusia mula pertama hanya berperan sebagai alat ekspresi suasana batin manusia dan sebagai alat perekam peristiwa di seputar kehidupannya. Jika suasana batin manusia diliputi haru, sendu, gundah-gulana karena musibah atau datangnya bencana yang mengancam hidupnya maka untuk menanggulanginya dicurahkan perasaannya dalam bentuk kata-kata bertuah/mantra untuk mengusirnya. Mereka memberi jampi pada senjata yang mengawal hidupnya, mengadakan pemujaan lewat mantra-mantra untuk mengusir hal-hal yang menimbulkan marabahaya (Rayes, 1991:3).Gambaran di atas mengingatkan kita awal mula kepercayaan masyarakat pada animisme yang pernah ada pada masyarakat Samawa zaman dahulu. Agaknya inilah peran awal kemunculan lawas yang diawali dari mantra sebagai bentuk puisi yang dianggap paling tua di nusantara sejak kepercayaan animisme.
Sebagaimana salah satu ciri dari sastra lisan pada umumnya, lawas tidak dimiliki oleh perorangan tetapi merupakan milik bersama masyarakat (kolektif Tau Samawa) sebagai ciri dari masyarakat komunal. Karena itu lawas hidup pada setiap hati masyarakat pemiliknya, paling tidak setiap penduduk yang menghuni kabupaten Sumbawa mengenal lawas sebagai puisi rakyat. Sebagai puisi rakyat, lawas dilantunkan ketika memasuki pintu rumah sang gadis yang akan dipinangnya.
Kaling anar mo ku ngongko Dari tangga saya jongkok
Santeris lawang ku sonap Selanjutnya pintu kulalui
Pendi ke aku rua na Kasihanilah diriku
Setelah lawas dilantunkan barulah rombongan dipersilakan masuk ke dalam rumah sang gadis dan pembicaraan pun diawali dengan bait-bait lawas. Lawas hadir dalam berbagai aktivitas kehidupan mulai dari hiburan, upacara ritual adat hingga hajatan yang diselenggarakan pemerintah. Lawas telah menjadi salah satu bentuk pengungkapan maksud atau keinginan sekelompok orang. Lawas sering dipakai untuk memulai suatu pembicaraan, menyampaikan maksud dan juga menutup pembicaraan dalam sebuah pidato upacara adat atau resmi. Berikut contoh lawas menutup suatu pidato.
Kaku ojong si parana Telah siap ku berpayung
Tiris no ku beang basa Tak kan ku biarkan basah kuyup
Ujan tampear ku keme Namun hujan lebat pun mengguyur
Kadatang sangka ku angkang Kuterima kedatangan anda dengan terbuka
Mole ku santuret kemang Pulang kami sertakan sekuntum bunga
Lema mampis bawa rungan Supaya membawa berita yang harum
Peristiwa yang terekam lewat lawas telah menjadi bagian dari kehidupan masyarakatnya dengan ekspresi dalam bentuk bahasa yang penuh daya puitik. Sebagai perekam peristiwa tidak sedikit cuplikan peristiwa, kritik terhadap ketidaknyamanan dalam kehidupan bermasyarakat, sejarah, cerita tertuang begitu indah dan runut tersaji melalui lawas tutir seperti Lalu Dia Lala Jinis, Merebat Bore, Kisah Batu Gong, Tanjung Menangis,Dadara Nesek dan masih banyak yang lainnya. Jelaslah dalam hal ini lawas telah menjadi media komunikasi dan sebagai tonggak kebudayaan masyarakat Samawa.
Ketika masyarakat Samawa mulai mengenal zaman tulisan lawas mulai ditulis walaupun kebanyakan lawas yang ditulis adalah lawas tutir (cerita), silsilah, dan sejarah pahlawan sakti yang ditulis dengan satra jontal (huruf Sumbawa) yang mirip dengan aksara suku Bugis (Lontara). Lawas yang ditulis dengan menggunakan aksara Sumbawa dalam lembaran daun lontar kemudian disimpan dalam tabung bambu yang dikenal dengan nama bumung. Karena disimpan dalam tabung bambu banyak lontar yang tidak terpelihara dengan baik sehingga lontar-lontar tersebut tidak lagi dapat dibaca untuk dikeahui isinya.
Perkembangan lawas tidak hanya sampai pada merekam peristiwa saja, namun lawas ketika zaman tulisan oleh para seniman lawas juga menciptakan lawas-lawas keagamaan/lawas akhirat yang berisi pujian kepada Tuhan Yang Mahaesa dan keagungan/keluhuran agama Islam, lawas ini kemudian dikenal lawas pamuji. Di zaman Sultan Sumbawa seorang ulama terkenal yang juga seniman lawas menciptakan lawas agama, beliau adalah Haji Muhammad Dea Kandhi (Alm) buku Pamuji yang ditulis dalam huruf Arab berbahasa Sumbawa sampai kini masih tersimpan pada keturunan beliau dan orang-orang tertentu. Di zaman sekarang ini sudah banyak para pencipta lawas mendokumentasikannya dalam buku cetakan atau mengumpulkan lawas-lawas yang pernah hidup di zaman lisan kini sudah ada dalam bentuk cetakan. Salah satu buku yang diterbitkan oleh Kantor Arsip dan Perpustakaan Daerah Kabupaten Sumbawa (2007) karangan Usman Amin judul kumpulan lawas “Kukokat Lawas Siya” yang memuat Lawas Dunia & Pergaulan dan Lawas Akhirat & Keagamaan.
Lawas sebagai sastra lisan dalam penyebarannya disampaikan dalam berbagai bentuk pertunjukan dalam berbagai kesempatan, sehingga lawas menjadi performing art yang selalu menarik penggemarnya untuk menyaksikan walaupun harus samapai semalam suntuk. Pertunjukan lawas telah menjadi bagian dari setiap acara kegiatan baik adat maupun acara-acara keagamaan atau acara resmi sehingga kurang lengkap tanpa kehadiran pertunjukan lawas terutama dalam bentuk sakeco yang banyak diminati masyarakatnya karena mampu menjadi media komunikasi yang efektif. Di kalangan pemerintah Daerah Sumbawa
pertunjukan lawas telah lama dipakai sebagai media untuk memasyarakatkan program pemerintah mulai dari ABRI Masuk Desa, Keluarga Berencana, Kesehatan, P4, Kampanye Parpol, pariwisata, dan lain sebagainya. Dari gambaran di atas jelaslah bahwa hampir seluruh aspek kehidupan masyarakat Samawa mewarnai perkembangan lawas dan begitu pula sebaliknya lawas telah menjadi bagian dari tonggak kehidupan masyarakatnya.
5. Konfigurasi Budaya Nusantara
Menyimak perjalanan sejarah Sumbawa di masa lalu jelaslah bahwa interaksi masyarakat Sumbawa dengan orang-orang luar sudah berlangsung berabad-abad. Hubungan itu tentu saja dilakukan oleh suku-suku bangsa ini, baik di pulau Sumbawa sendiri maupun antar suku dan pulau maka berlangsunglah silih berganti antara kompetisi dan konflik, meskipun terjadi pula eksplorasi dan kooperasi. Cara-cara hidup yang masih eksklusif dari masing-masing kelompok etnis yang dianggap mempersulit interaksi kooperatif terbukti mampu dicairkan melalui kreasi-kreasi budaya. Akulturasi budaya yang begitu lama pada masyarakat Sumbawa kini telah menghasilkan berbagai konfigurasi budaya yang bernuansa etnis nusantara. Konfigurasi dalam konteks ini adalah wujud dari hasil perpaduan budaya yang dihadirkan dalam bidang seni khususnya pada puisi rakyat Sumbawa yang berupa lawas.
Pengaruh dan gesekan kehidupan masyarakat menyebabkan terjadinya akulturasi budaya, hingga terjadinya keinginan untuk tukar-menukar dan saling mempengaruhi kebudayaan. Ini terjadi dalam bentuk puisi rakyat Sumabawa dimana bentuk lawas tiga baris sebagai pengaruh puisi lisan Bugis yakni “Elong, Kelong” yang sampai kini masih bertahan pada kolektif Bugis di beberapa wilayah pesisir pantai di NTB (Sumbawa, Bima, Dompu, dan Lombok). Pengaruh bentuk ini dapat dibandingkan pada contoh berikut.
Ketengero muita Lihatlah bulan itu
Aliliq alibunna Lingkarannya bundar
Atikkuq rilaling (Bugis) Begitu pula hatiku di dalamnya
Kele tau barang kayu Walaupun orang itu tidak dikenal
Lamento sanyaman ate Kalau dia baik budinya
Benansi sanak parana (Samawa) Itulah dia saudara kita
Dari data di atas kedekatan kedua bentuk puisi rakyat tersebut tampak dalam urutan penyampaian maksud dimana pada baris ke tiga menjadikan simpulan dari bait tersebut.Jika diperhatikan dari jumlah suku kata setiap barisnya tidaklah sama jumlah suku kata dalam lawas rata-rata 8 suku kata sedang elong rata-rata 7 suku kata. Kerajaan -budaya Makasar (Goa) yang sudah lama (tahun 1600-an) memasuki Kesultanan Sumbawa, dalam hubungan tersebut tidak menutup kemungkinan terjadinya interfensi budaya dan di samping adanya persebaran yang merata pada orang-orang Bugis di wilayah Sumbawa yang mempercepat proses pembauran.
Mengingat tingginya interaksi tau Samawa dengan penduduk pendatang yang dengan segala tingkah polahnya telah menjadi inspirasi bagi para seniman (tukang lawas) dalam menciptakan lawas. Berbagai cerita berkembang dalam pergaulan antar komunitas, ia saling menjaga hubungan baik dalam kerangka menciptakan kedamaian di tana Samawa maka terciptalah sebuah lawas tutir
(prosa liris) Kisah Batu Gong gubahan Haji Maswarang dari Desa Pamulung, Sumbawa. Kisah Batu Gong menceritakan dua sahabat yakni Garantung dari Makasar dan Kaki Ranggo dari Bali yang sama-sama terdampar di Labuhan Padi, tepatnya di Desa Orong Bawa di wilayah Kecamatan Utan mereka bersepakat menjadi sahabat untuk saling membentu membangun tana Samawa. Untuk mengenang persahabatan mereka lalu membangun sebuah tempat yang bernama Batu Gong di sana ada sekumpulan batu yang berbentuk seperti gong besar yang dikelilingi oleh batu-batu kecil yang melambangkan persatuan seolah isi lawas tersebut membangun sebuah konfigurasi budaya Nusantara di tana Samawa. Berikut kutipan salah satu bait Kisah Batu Gong yang disampaikan dalam Sakeco.
------------------------------- ---------------------------
Kajiranan po sia e Setelah itu ya Tuan
Mufakat tau telu nan Bermufakat mereka bertiga
Beling koa Kaki Ranggo Kaki Ranggo berkata
Oe Garantung balong ate Wahai Garantung yang baik hati
Saboe pangeto mu balong Mari amalkan pengetahuanmu
Coba tupina batu gong Coba kita buat batu gong
Ada detu bilin mate Agar ada yang kita tinggalkan mati
Lemanaka(ta) lupa kita Kita tidak akan dilupakan
Dadi sajara pang mudi Nantinya akan menjadi sejarah
Masa si era ya bangun Diakhir masa nanti dibangun
Dadi tokal pariwisata Jadi tempat pariwisata
Kunjungan ling s area tau Di datangi oleh semua orang
--------------------------------- ------------------------------------
Batu Gong hingga saat ini menjadi sebuah tempat pariwisata di Sumabawa yang ramai dikunjungi wisatawan, seolah-olah magnet Batu Gong yang terpancar dari dua sahabat berbeda suku dan agama telah lama menanamkan semangat persatuan dan kebersamaan dengan menyingkirkan perbedaan yang ada. Inilah sebuah gambaran toleransi yang telah dibangun melalui media seni berupa lawas.
Lawas-lawas yang disampaikan dalam sakeco memang penuh dengan pesan, sindiran, ejekan, dan terkadang lucu dan porno yang membuat para pendengar tersenyum sipu. Memang lawas yang dipertunjukkan sangat kontekstual dari segi isi, penanggap sakeco dapat memesan sesuatu kepada tukang lawas agar keinginan pemesan bisa disampaikan kepeda penonton melalui pertunjukan lawas. Tukang lawas sangat menguasai formula lawas, yakni kelompok kata yang secara teratur digunakan dalam kondisi matra yang sama untuk mengemukakan ide pokok tertentu (Lord, 1976:30).
Pewarisan lawas sebagai puisi lisan dilakukan dari mulut ke mulut sejak zaman dahulu, pengaruh dan kemajuan zaman menyebabkan pewarisan disampaikan melalui seni pertunjukan. Pewarisan puisi lisan dalam masyarakat Sumbawa kini dilakukan dalam bentuk seni pertunjukan seperti pada sakeco. Sakeco muncul sebagai seni pertunjukan merupakan bentuk perkembangan dari Ratif yang melantunkan lagu-lagu yang bernafaskan Islam yang diiringi pukulan rebana. Mengingat ratif yang penuh dakwah menjadikan penonton kurang terhibur karena syair-syair yang dilantunkan diambil dari Kitab Hadroh yang berbahasa Arab. Ratif yang penuh dakwah menyebabkan penonton (pendengar) kurang mendapat hiburan yang sifatnya gembira atau lucu, hal ini menyebabkan
kehadiran lawas sebagai seni pertunjukan lawas mendapat tempat di hati masyarakat.
Pertunjukan sakeco pertama kali dimainkan oleh dua orang tukang lawas dari daerah ano rawi (Taliwang) bernama Zakaria dan Syamsuddin. Kedua pasangan ini selalu tampil melantunkan lawas-lawas Samawa dengan iringan rebana, pasangan ini dikenal dengan nama Sake (panggilan untuk Zakaria) dan Co (panggilan untuk Syamsuddin) yang kemudia Sake dan Co menjadi sebauh kata yaitu Sakeco. Pendapat lain ada yang mengatakan bahwa kata sakeco telah ada sebelum masuknya Islam ke tana Samawa dan tak mungkin istilah tersebut bentukan dari nama dua orang tersebut. Kata sakeco dalam tuturan sehari-hari bahasa Sumbawa tidak ada selain digunakan untuk istilah tersebut, karena itu kata sakeco perlu ditelusuri lebih jauh keberadaannya. Seni pertunjukan ini mendapat pengaruh Melayu dan Arab yang merupakan konfigurasi budaya Nusantara. Seni tabuh berupa rebana kita jumpai hampir disemua daerah di Indonesia dan sejenis sakeco kita temui dalam seni Kentrung di Jawa Timur.
Sakeco dapat dikategorikan sebagai seni pertunjukan rakyat yang berkembang di tengah-tengah masyarakat wong cilik. Kehidupan pertunjukan sakeco ditunjang oleh penanggapnya, tidak ada penjualan tiket dan jauh dari seni komersial. Dalam pertunjukan lawas sakeco antara pemain dengan penonton seakan tidak ada jarak, ikatan emosional pemain dan penonton begitu dekat. Sakeco dalam pertunjukannya menampilkan cerita rakyat berupa legenda, peristiwa sejarah atau kejadian-kejadian dalam kehidupan masyarakat yang digubah ke dalam lawas tutir (cerita). Tutir yang berupa lawas disampaikan menggunakan temung yang disesuaikan dengan isi tutir itu sendiri sedih, gembira mereka sampaikan dengan penuh ekspresi. Selain itu dalam masyarakat Samawa juga dikenal seni bakelong, bentuk penyampaian elong (Bugis) yang juga dipadukan dengan lawas Samawa. Seni petunjukan ini juga cukup diminati oleh masyarakat Sumbawa. Seni pertunjukan di Nusantara telah mampu tumbuh dan beralkulturasi di daerah baru sebagai wujud keindonesian.
6. Penutup
Lawas sebagai salah satu bentuk sastra lisan dalam masyarakat Sumbawa (Samawa) merupakan fenomena kebudayaan yang akan tetap hadir di tengah-tengah masyarakatnya. Sebagai hasil budaya lawas merupakan cerminan dari nilai-nilai yang hidup di zamannya, karena itu nilai budaya tersebut bersifat universal dan kontekstual. Lawas sebagai ekspresi masyarakat Samawa telah menyajikan sebuah konfigurasi budaya. Disadari atau tidak oleh masyarakat pemiliknya ternyata dalam perkembangannya lawas telah melahirkan berbagai konfigurasi sebagai gambaran keterbukaan masyarakat dalam menerima budaya orang lain yang dianggap masih sejalan dengan budaya Samawa. Konfigurasi ditunjukkan dalam bentuk (struktur), isi, dan penyajian lawas. Pewarisan lawas sebagai puisi lisan dilakukan dari mulut ke mulut sejak zaman dahulu, pengaruh dan kemajuan zaman menyebabkan pewarisan disampaikan melalui seni pertunjukan. Pewarisan puisi lisan dalam masyarakat Sumbawa kini dilakukan dalam salah satu bentuk seni pertunjukan adalah sakeco.
Daftar Pustaka
Amin, Usman. 2007. Kukokat Lawas Siya (Kumpulan Lawas Sumbawa). Sumbawa : Kantor Arsip dan Perpustakaan Daerah.
Bahri, Syaiful. 2008. Distribusi dan Pemetaan Bentuk/Jenis Karya Sastra yang Tumbuh dan Berkembang pada Masyarakat Tutur Bahasa Bugis di Kabupaten Sumbawa. Mataram : Departemen Pendidikan Nasional, Pusat Bahasa, Kantor Bahasa Provinsi NTB.
Danandjaja, James. 1991. Folklor Indonesia: Ilmu Gosip, Dongeng dan lain-lain. Jakarta : Grafiti.
Depdikbud, NTB. 1988. Sejarah Daerah Nusa Tenggara Barat. Mataram : Proyek Inventarisasi dan Dokumentasi Kebudyaan Daerah.
Hutomo, Suripan Sadi. 1991. Mutiara yang Terlupakan. Malang : Mitra Alam Sejati.
Lord, Albert B. 1976. The Singer of Tales. New York : Atheneum.
Manca, Lalu. 1984. Sumbawa pada Masa Lalu (Suatu Tinjauan Sejarah). Surabaya : Rinta.
Noorduyn, J. (terjemahan Muslimin Jasin). 2007. Sejarah Sumbawa. Yogyakarta : RIAK (Riset Informasi dan Arsip Kenegaraan).
Rayes, Dinullah. 1991. Makalah, Lawas Puisi Lisan Tradisional Salah Satu Pilar Kesenian Daerah Sumbawa.
Sabriah. 1994/1995. Makalah, Nilai Relegi dalam Elong Ugi. Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa, Balai Penelitian Bahasa di Ujung Pandang.
Syamsuddin, Helius. 1982. Makalah, Hubungan Antar Pulau dan Interaksi Antar Suku Bangsa.
Suyasa, Made. 2002. Tesis, Wacana Seni Balawas dalam Masyarakat Samawa. Denpasar : Program Pascasarjana Univ. Udayana.
CURICULUM VITAE
N a m a : MADE SUYASA
Tempat/tgl. Lahir : Selat, Karangasem, 09 April 1962.
Alamat : Jl. Menjangan No. 20, Mataram.
Instansi : Kopertis Wilayah VIII Denpasar dpk. FKIP - Univ. Muhammadiyah Mataram
Pendidikan : S1 Pend. Bahasa dan Sastra Indonesia, FKIP-UNUD di Singaraja, 1985.
S2 Linguistik (Konsentarasi Kajian Wacana Sastra), Pascasarjana-UNUD, 2002.
Pengalaman : - Dosen Kopertis Wilayah VIII dpk FKIP- UM Mataram
- Ketua Jurs. Pend. Bahasa dan Seni, FKIP–UM Mataram
- Ketua Badan Penyelenggara Akademi Pariwisata Mataram.
- Anggota Lembaga Penelitian, UM Mataram.
- Anggota Lembaga Kajian Pariwisata, Akademi Pariwaisata Mataram
- Ketua Redaksi Majalah Ilmiah Linguawisata Akademi Pariwisata Mataram.